Apalagi kalau pandangan diarahkan ke area yang lebih luas.
Seperti yang saat ini terjadi. Mereka yang mengaku sebagai pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin saat Pilpres tempo hari. Baik orang per orang, sekumpulan orang, maupun organisasi masa, dan partai politik, kedok mereka terbuka sedemikian nyata.
Pada mulanya mereka mengklaim ikhlas dan sukarela mendukung Jokowi untuk kembali menjadi Presiden RI. Alasannya karena Jokowi bla-bla-bla...
Di saat Jokowi kembali meraih kemenangan, kemudian dilantik, dan mengumumkan susunan kabinetnya, maka yang tidak kebagian kursi pun ramai menyalak sedemikian nyaringnya. Bahkan ada juga yang bertingkah bak bocah yang tidak mendapat jatah permen dari ibunya.
Yupz. Pameo Tidak ada makan siang yang gratis pun memang tak dapat diingkari lagi. Tetap berlaku. Buktinya kalau sudah mendapat bagian, yang bersangkutan pun menggelendot jinak sambil menjilati kaki majikannya.
Terlebih lagi dengan mereka yang berseberangan. Mengkritik sampai tak ada habisnya. Bahkan sampai berteriak-teriak menyebar fitnah yang begitu keji. Tapi coba deh yang bersangkutan disodori sepiring nasi, eh kursi! Maka sudah tentu akan berubah menjadi herder yang paling setia.
Ternyata, oh ternyata  jabatan menteri adalah "cita-cita" akhir organisasi. Lalu ada jabatan yang ditradisikan menjadi "hak" atau milik organisasi.
Nah, ketika jabatan itu tidak ditawarkan atau diberikan kepada organisasi, maka tercetuslah kekagetan dan rasa kecewa melanda.
Padahal siapa pun sepakat bahwa jabatan adalah amanah.
Maka apabila budaya seperti itu masih tetap berlangsung, malahan kian masif ke depannya, ungkapan JFK di awal tulisan pun akan semakin kabur saja tampaknya. Begitu juga peringatan Sumpah Pemuda akan tetap stagnan, sebatas seremonial belaka.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H