Suatu ketika, di saat istirah seusai shalat Asar saya menyempatkan untuk menemani cucu perempuan usia lima tahun menonton televisi. Meskipun sebenarnya belakangan ini saya sudah tidak menyukai lagi duduk menghadap layar kaca, tetapi apa boleh buat, cucu yang masih duduk di TK, dan cucu perempuan satu-satunya itu perlu didampingi jua. Karena kalau sudah sedang berkunjung ke rumah, berarti tanggung jawab saya juga yang menjadi kakeknya.
Acara di televisi saat itu adalah kontes menyanyi anak-anak. Kebetulan salah seorang anak peserta acara itu selain berpenampilan lumayan baik, juga sikapnya yang tampak lebih dewasa dari usianya, membuat saya tertarik juga. Terlebih lagi ketika salah seorang jurinya menanyakan motivasi anak itu mengikuti kontes, jawabnya adalah untuk membahagiakan orang tua.
Mendengar keluguan jawaban anak tersebut, hati saya tiba-tiba menjadi terharu dibuatnya. Dan tanpa terasa airmata pun jatuh menetes membasahi rambut cucu yang duduk di pangkuan saya.
Si Cantik, demikian kami sekeluarga memanggilnya, karena hanya ia satu-satunya cucu perempuan kami dari lima orang cucu dari tiga anak kami yang sudah berkeluarga, menengadah, dan melihat ke arah saya dengan penuh keheranan.
"Abah koq nangis? Seperti Si Dede saja... Cengeng ih!" katanya sambil tertawa.
Saya pun tersadar. "Enggak. Masak kakek-kakek nangis. Ini mata Abah kelilipan. Ada semut hitam masuk ke mata," sahut saya seraya mengusap airmata yang masih tersisa di kedua sisi hidung, dan berpura-pura menggosok-gosok mata yang sebenarnya tidak kemasukan apa-apa.
Sementara dalam hati bertanya-tanya. Apa iya melihat hal seperti itu saja hati saya jadi mudah tersentuh? Apa iya saya ini sudah rapuh? Apa karena usia saya sudah mulai beranjak sepuh (Bhs. Sunda halus=tua)?
Entahlah. Sepertinya bukan hanya cucu perempuan saja yang menyebut saya cengeng. Bahkan anak saya yang bungsu, gadis ABG yang duduk di bangku kelas 3 SMP, pernah mengata-ngatai saya sebagai orang yang baper saat istri saya menegur saya yang merokok saat usai makan bersama, dan saya ketika itu langsung mematikan kretek yang baru dinyalakan seraya beranjak meninggalkan meja makan.
Cengeng. Baper. Berkelindan dalam kepala saya. Dan menuntun ingatan saya kepada salah seorang Presiden Indonesia. Setiap pernyataannya di media online arus utama, kerap mendapat komentar yang membuat saya tersenyum masam saat membacanya. Kata-kata cengeng, baper, post power syndrome, yang terkesan cemoohan, berseliweran ditujukan kepada Presiden yang terpilih sampai dua periode itu.
Bisa jadi cucu perempuan saya yang masih duduk di TK, maupun anak bungsu  saya itu pun sedang mencemooh sikap saya. Apa boleh buat. Bisa jadi saya ini sedang mengalami fase seperti itu.
Akan tetapi sebagai seorang kakek bagi cucu-cucunya, seorang ayah bagi anak-anaknya, sudah tidak seharusnya saya bersikap seperti itu. Saya tidak boleh baper, tidak boleh cengeng, tidak boleh melankolis