Hari Minggu yang lembab tak mengurangi hasrat saya untuk menggeber sepeda motor trail tua kesayangan untuk berpetualang menjelajahi lembah dan hutan di pegunungan sebelah utara kampung kami. Terlebih lagi jalan setapak yang menurun, dan menanjak, juga berkelok-kelok itu tentunya merupakan medan yang menantang, dan membangkitkan adrenalin karena basah berlumpur sehabis diguyur hujan semalaman.
Andaikan menempuh perjalanan melalui jalan beraspal, sebenarnya jarak antara tempat tinggal saya dengan Desa Guranteng yang kerapkali oleh orang kota disebut sebagai  kampung di pucuk awan, tidaklah terlalu jauh memang. Paling hanya sekitar empat kilometeran saja. Hanya saja karena sejak masuk perbukitan di wilayah desa itu sepeda motor penggaruk tanah saya berbelok menyusuri jalan setapak yang masih berlumpur naik-turun, dan berbelok, serta di kiri-kananya dipenuhi semak belukar, setibanya di ujung utara sebuah perkampungan di perbatasan Desa Guranteng, Kabupaten Tasikmalaya dengan Desa Sindangbarang yang termasuk wilayah Kabupaten Ciamis itu tanpa terasa memakan waktu hampir dua jam.
Rasa lelah pun menyergap saat sepeda motor diparkir di sebuah warung kecil di pinggir jalan beraspal itu. Sebotol minuman mineral ukuran tiga perempat liter, tandas dalam beberapa tegukan saja. Sementara keringat mengucur sekujur tubuh, membasahi jersey yang dipenuhi percikan lumpur.
Warung kecil itu letaknya agak jauh dari pemukiman. Selain menjual bermacam makanan ringan, juga menyediakan bensin eceran, dan melayani jasa tambal ban. Kebetulan saat saya tiba di warung itu tak banyak pengunjung. Hanya ada seorang penjual bibit tanaman yang juga tampaknya sedang istirahat sehabis berkeliling menjajakan dagangannya. Sementara itu lalu-lalang kendaraan, kebanyakan sepeda motor, dan sesekali truk yang mengangkut kayu maupun hasil pertanian sesekali lewat di depan warung. Hanya saja hal itu tak membuat istirahat saya terganggu. Terlebih lagi karena tiupan angin pegunungan yang sepoi-sepoi, membuat tubuh yang kelelahan ini terasa cepat pulih kembali.
Oleh karena itu saya pun berniat untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju arah pulang. Tetapi baru saja selesai membayar minuman dan penganan, dari arah selatan jalan yang menanjak, sebuah sepeda motor bebek berhenti di depan warung. Pengendaranya seorang lelaki tua yang membonceng perempuan yang usianya agak muda.
"Ssstttt..." Pemilik warung memberi isyarat kepada saya sambil mengedipkan matanya, dibarengi dagu yang diangkat ke arah pengendara sepeda motor yang sedang memarkir tunggangannya di seberang jalan.
Saya pun mencoba untuk mengenali pendatang baru itu.Tak syak lagi. Saya memang kenal baik. Lelaki tua berkumis tebal, dan berperawakan pendek kekar itu adalah warga desa tetangga, dan mantan satpam pasar kecamatan. Hanya saja perempuan yang sekarang mengikutinya berjalan menuju warung itu sepertinya bukan istrinya.
Sungguh. Saya kenal baik dengan keluarga lelaki itu. Kebetulan di desa tetangga tempat tinggal lelaki tua itu ada saudara saya yang rumahnya hanya berselang dua rumah saja dengan rumah Mang Lili, lelaki tua yang sekarang sudah ada di depan kami berada. Belakangan ini saya mengetahui kalau istri Mang Lili sudah lama sakit-sakitan. Beberapa kali saya berkunjung ke rumah saudara, saya sering mendengar istri mantan satpam pasar itu bolak-balik ke rumah sakit.
Saya pun langsung menegurnya.
"Mau kemana, Mang?'
Mang Lili mengangkat wajahnya, dari balik kaca mata hitamnya dia menatap saya. Sesaat kami beradu pandang. Tetapi wajah lelaki tua berkumis tebal itu tampak berubah pucat. Terasa tangannya bergetar saat bersalaman. Tetapi dengan senyum yang terkesan dipaksakan, Mang Lili mengajak saya duduk di bangku. Wajahnya didekatkan ke arah telinga saya.
"Tolong jangan beri tahu orang-orang di kampung, Mang Lili membawa perempuan lain," bisiknya pelan dengan bibir bergetar.
Saya pun faham. Kemudian menepuk bahunya sambil mengedipkan mata. Sementara dalam hati tertawa. Lelaki tua berkumis tebal hitam legam yang tampaknya disepuh cat itu, dan mantan satpam pasar lagi, jika sudah tertangkap basah seperti sekarang ini, sepertinya tak berdaya juga.
"Perempuan dari mana itu? Sudah dinikahi apa belum?" Â tanya saya dengan sedikit menggodanya.
Sebelum menjawab Mang Lili tersenyum kecut. "Dari kampung sebelah sana," katanya sambil menunjuk ke arah utara. "Iyalah pasti sudah dinikahi. Hanya saja nikah siri!"
Saya hanya geleng-geleng kepala saja mendengar pengakuan mantan satpam pasar berusia tujuh puluhan itu. Selain sudah tua, semua anaknya yang berjumlah lima orang sudah berkeluarga, dan memberinya banyak cucu, bahkan sudah punya tiga orang buyut (anak dari cucunya), tapi libidonya masih saja tinggi.
"Tapi, Cep (panggilan untuk anak laki-laki yang dihormati) tolong ya, jangan sampai orang di kampung ada yang tahu. Cukup Encep saja yang tahu. Soalnya Mang Lili kasihan sama emaknya anak-anak..."
"Lha kalau kasihan, kenapa sekarang kawin lagi?" goda saya.
"Yah, namanya juga laki-laki. Masa Encep gak 'ngerti?!" sahutnya sambil pamitan setelah perempuan yang bersamanya itu tampak sudah selesai berbelanja.
Ketika hendak melaju, sekali lagi Mang Lili berkata pada saya, "Tolong ya?!"
Saya menjawabnya hanya mengangguk saja sambil mengacungkan jempol tangan kanan. Hanya saja dalam hati saya tak habis pikir. Lelaki setua Mang Lili ternyata masih memiliki libido yang tinggi. Sedangkan saya saja selalu saja harus berpikir dua kali jika muncul perasaan tergoda oleh perempuan yang kebetulan menarik perhatian. Apalagi jika ingat pada dua anak kami yang masih gadis remaja, apa kata dunia kalau ayahnya masih gemar berselingkuh juga...
Sebagai pria yang masih normal, saya sendiri memang tidak menampik, dan tidak munafik. Perasaan tertarik terhadap lawan jenis masih tetap ada. Hanya saja itu tadi. Karena tidak menutup kemungkinan, beselingkuh itu tetap saja berisiko besar bagi keutuhan sebuah rumah tangga. Rumah tangga bisa-bisa berantakan, dan saya tak berharap anak-anak menjadi korban. Sebagaimana yang seringkali terjadi dalam keluarga lain selama ini.
Oleh karena itu, untuk menyalurkan hasrat yan membahayakan keutuhan rumah tangga, saya lebih baik memilih beradventure ria saja. Selain  menguji adrenalin, sekalian berolah raga.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H