Himbauan Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian PAN RB kepada pegawai negeri sipil (PNS) supaya tidak memihak, bahkan sampai  mendukung salah satu pasangan calon peserta Pilkada, dalam menciptakan kehidupan demokrasi yang sesungguhnya, yakni jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia, sepertinya sulit untuk diwujudkan. Bahkan bisa dikatakan,  himbauan, maupun ancaman serupa itu sekedar basa-basi belaka.
Betapa tidak. Sebab bagaimanapun gencarnya himbauan disampaikan, disertai dengan ancaman yang cukup berat bagi oknum PNS yang melakukan pelanggaran sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan, akan tetapi oknum PNS tersebut tetap saja akan melakukannya, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Karena selain berdalih bahwa pemilihan merupakan hak setiap warga, mereka pun memiliki kepentingan di dalamnya. Hal yang penting adalah menyelamatkan periuk nasi keluarga. Tidak menutup kemungkinan juga  demi meningkatkan karir jabatan yang menjadi impian setiap PNS, tentu saja.
Terlebih lagi apabila kebetulan kandidat yang maju di dalam Pilkada itu merupakan atasan mereka. Sebagaimana halnya yang terjadi pada Pilkada serentak 2018 ini, misalnya saja di dalam Pilkada Jawa Barat. Tercatat ada beberapa pertahana yang mencalonkan diri sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Di antaranya adalah Deddy Mizwar yang saat ini menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat, dan kebetulan berpasangan dengan Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta. Kemudian Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung, dengan pasangannya Uu Ruzhanul Ulum yang notabene adalah Bupati Tasikmalaya. Demikian juga Ahmad Syaikhu adalah Wakil Walikota Bekasi yang maju sebagai cawagub pendamping Mayjen (Pur) Sudrajat.
Dengan melihat komposisi dari tiga pasangan cagub dan cawagub itu, lima di antaranya adalah pertahana di daerahnya masing-asing. Maka bukan suatu hal yang mustahil lagi apabila para PNS yang berada di lingkungan kerja masing-masing derah tersebut, tidak memberi dukungan terhadap kandidat yang menjadi pertahana, dan sekaligus merupakan atasan mereka sebelumnya.
Bahkan sudah bukan rahasia lagi apabila selama ini seorang Kepala Dinas atau Kepala Bagian di suatu daerah merupakan orang-orang 'dekat' pertahana. Sehingga karena itu juga sudah bukan suatu hal yang aneh lagi apabila banyak ditemukan seorang Kepala Dinas yang berlatar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan instansi yang dipimpinnya. Misalnya saja seorang bergelar akademis sarjana pendidikan agama, diangkat menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Kimpraswil. Â Atau sebaliknya, seorang sarjana teknik sipil tiba-tiba saja diangkat menjadi Kepala Bagian Kesra yang dikenal banyak mengurus masalah sosial dan keagamaan.
Bisa jadi hal itu banyak dilakukan seorang Kepala Daerah, karena alasan selain faktor demi memudahkan koordinasi, juga yang paling penting tentunya adalah untuk kelancaran urusan yang bersifat privasi antara keduanya. Dalam hal ini antara atasan dengan bawahan, tentu saja. seperti misalnya apabila pertahana akan kembali maju dalam Pilkada pada periode kedua, atawa seperti sekarang ini maju ke jenjang lebih tinggi dari sebelumnya.
Maka seorang Kepala Dinas itu pun, sebagaimana peribahasa dalam bahasa Sunda, akan diperih pati torta gawe (artinya: diberi tugas yang sangat berat) oleh pertahana untuk memberikan dukungannya. Dalam hal ini bukan hanya Kepala Dinas itu sendiri, melainkan wajib hukumnya untuk mengerahkan seluruh anak buahnya yang ada di bawah lingkungan kerjanya. Misalnya saja seorang Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, bahkan instansi ini sepertinya merupakan salah satu lumbung suara yang selama ini menjadi andalan pertahana, karena selain diisi oleh pejabat struktural, juga jangan lupa PNS fungsional seperti tenaga guru yang jumlahnya ratusan ribu -- bahkan mungkin mencapai jutaan banyaknya yang tersebar di seluruh pelosok daerah, Â suka maupun tidak akan diinstruksikan untuk satu tekad satu suara, mendukung pertahana tentunya.
Sementara jika tidak?
Fakta yang bicara, seorang PNS yang membangkang, tidak mengikuti instruksi atasannya, jangan harap dapat segera diurus kenaikan pangkat maupun jabatannya, meskipun sesungguhnya sudah memenuhi syarat maupun ketentuan aturan yang berlaku juga.
Inilah masalahnya. Sebagaimana yang banyak terjadi selama ini. Organisasi persatuan guru yang bernama PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) misalnya. Karena begitu kental posisinya dengan pejabat di dinas instansi  terkait (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan), begitu kuat cengkeramannya terhadap kaum pendidik yang menjadi anggotanya. Dengan kata lain, para pengurusnya terkesan selalu saja 'memperkosa' hak anggota di dalam menentukan pilihannya.