Hari Rabu 28 Juni 2018, bisa jadi akan menjadi sebuah hari yang istimewa tentunya bagi para peserta Pilkada serentak di 171 daerah. Yakni di 17 provinsi, 39 Kota, dan 115 kabupaten seluruh Indonesia. Karena pada hari Rabu itu merupakan hari-H pemungutan suara dilaksanakan.
Di hari itu juga nasib ratusan kandidat peserta Pilkada ditentukan. Hanya saja dari sekian banyak kandidat, yang akan tampil sebagai pemenang, hanyalah 171 pasangan belaka, tentu saja. Sehingga bisa jadi bagi kandidat peraih suara terbanyak, hari Rabu tersebut merupakan hari paling istimewa dalam hidupnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga akan dianggap sebagai hari keramat.
Lain halnya dengan kandidat yang menelan kekalahan. Bisa jadi hari Rabu tersebut akan dianggap sebagai hari yang sial. Malahan bagi kandidat yang masih mempercayai mistik dan ilmu klenik, boleh jadi dukun atau orang pintar yang sebelumnya menjadi kepercayaannya pun akan kena damprat, dan dimaki-maki.
Hanya saja pada umumnya bagi kandidat yang jadi pecundang, selain akan uring-uringan, menyalahkan mesin politiknya yang cenderung lebih banyak menikmati anggaran yang dikeluarkan, ketimbang bekerja secara total untuk memenangkan sang jagoan, maka sikap yang paling banyak dilakukan kandidat yang terjungkal dari arena pertarungan, adalah pergi menyepi. Lantas menghitung anggaran yang telah dikeluarkan, dan boro-boro mendapat keuntungan, yang jelas modal pun malahan tidak akan bisa kembali lagi.
Selain itu, mungkin saja bersama tim suksesnya kandidat yang kalah itu akan mencari-cari kesalahan pasangan yang menjadi pemenang. Terutama pelanggaran yang kerapkali dilakukan selama kampanye berjalan. Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, dalam setiap pemilihan selalu saja muncul idiom "Serangan Fajar". Tidak menutup kemungkinan seluruh pasangan kandidat peserta pemilihan itu pun secara serentak telah melakukannya. Â Hanya saja kebetulan dalam pelaksanaan serangan fajar yang biasa dilakukan jelang malam H-1 itu, kandidat yag muncul jadi pemenang, disebabkan nilai rupiah yang dibagi-bagikannya lebih besar daripada mereka, kandidat yang mengalami kekalahan.
Terlebih lagi apabila kebetulan yang tampil sebagai pemenang itu adalah pasangan pertahana. Kandidat yang sedang menjabat pemimpin daerah tersebut sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan tudingan selain telah melakukan politik uang, maka tuduhan yang paling sering dialamatkan kepada pemenang yang berasal dari pertahana itu adalah pengerahan aparatur sipil negara (ASN) yang menjadi bawahan pertahana selama ini.
Bahkan masalah tersebut bisa jadi merupakan permasalahan paling rawan terjadi selama berlangsungnya Pilkada yang diikuti kandidat yang berasal dari incumbent, atawa pertahana.
Sinyalemen pengerahan korps pegawai negeri yang ada di bawah kekuasaan pertahana, bukanlah sesuatu yang aneh lagi selama ini. Tidak hanya sekedar desas-desus serupa hoax belaka, melainkan kenyataan yang sulit untuk dibantahnya.
Sejak jauh hari saatnya pelaksanaan Pilkada, pertahana yang akan ikut mencalonkan diri, baik untuk melanjutkan jabatan sebelumnya untuk periode kedua, maupun hendak ikut bertarung pada level yang lebih tinggi, misalnya saja seorang Walikota atawa Bupati yang mencalonkan diri menjadi Gubernur atawa Wakil Gubernur, maka berbagai posisi strategis, seperti Kepala Dinas, Kepala Bagian, hingga Camat di berbagai wilayah yang menjadi kekuasaannya akan diisi oleh orang-orang kepercayaannya. Paling tidak saat melakukan mutasi, para pejabat itu didoktrin supaya mampu mengerahkan massa untuk mendukung yang bersangkutan, Sang Pertahana yang selama ini menjadi atasan mereka.
Akan halnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bertugas sebagai 'polisi' pada setiap pemilihan, baik Pilkada, Pemilu, dan Pilpres, sepertinya dalam mengawasi pengerahan ASN untuk mendukung salah satu kandidat, dalam hal ini adalah pertahana, terkesan tidak bisa bertindak tegas. Malahan seringkali tampak justru seolah-olah tutup mata. Bahkan apabila mendapat laporan dari warga sekalipun, terkait yang dilakukan pertahana, maka pihak Bawaslu seringkali terkesan tidak meresponnya secara sungguh-sungguh. Sebaliknya mereka (Bawaslu) malah seperti mempersulit warga yang memberikan laporan itu.
Mengapa hal itu bisa terjadi?