Perempuan di seberang meja itu sekilas seperti telaga yang dalam, dengan kebeningan airnya yang tenang di permukaannya. Tapi bila suatu ketika saya mencuri pandang di saat tatapan matanya yang seakan menerobos kaca jendela cafe, dalam hati saya diam-diam muncul keraguan dengan penilaian di awal tadi. Terlebih lagi ketika dia menyalakan sebatang rokok, lalu mengisapnya dalam-dalam, dan disusul kemudian menghembuskan asap serupa gulungan awan putih dengan begitu kuatnya, saya justru mempunyai kesimpulan yang sebaliknya.
Pada senja yang basah itu, saya diminta untuk menemani perempuan itu oleh seorang teman yang juga menjadi teman perempuan itu. Terus terang saja, awalnya saya menolak permintaan teman saya. Karena terlepas dari pekerjaan saya yang menuntut untuk bergaul dengan siapa saja, akan tetapi sebagai seorang lelaki yang sudah berkeluarga, saya merasa risi apabila harus berhadapan dengan seorang perempuan lajang yang sama sekali belum kenal, ditambah pula dari pengakuan teman saya sebelumnya kalau perempuan itu adalah selingkuhannya. Dasar hidung belang! Â Apa boleh buat. Karena teman saya menyakinkan tidak akan lama dengan urusannya, sedangkan urusan yang sedang diurusnya itu adalah urusan saya juga, meskipun berat hati yang bercampur gamang, ahirnya saya pun mengiyakan permintaannya.
Bahkan setelah bertemu, dan langsung berhadapan, muncul rasa penasaran untuk mencari tahu. Mengapa perempuan semuda dan secantik dia mau menjadi selingkuhan seorang pria setengah baya. bagaimanapun teman saya itupun statusnya sama dengan saya. Sudah berkeluarga. Malahan tak lama lagi akan mendapat cucu pertamanya.
Setelah bicara ngalor-ngidul, dan pada akhirnya percakapan kami terasa semakin hangat dan akrab, saya pun melempar pertanyaan pada perempuan itu.
"Mengapa kamu mau menjadi pacar seorang pria yang sudah berkeluarga? Padahal di luar sana pria lajang pun sepertinya banyak yang antri untuk menjadi pasangan perempuan semuda dan secantik kamu."
Pertanyaan saya itu tidak segera dijawabnya. Sambil menghembuskan asap rokok, dia malah tertawa. Sesaat wajahnya berpaling ke arah jendela kaca, seakan sedang menikmati rinai gerimis di luar sana yang disorot lampu merkuri.
"Apakah salah bila saya mencintai seorang pria yang sudah berkeluarga, sementara cinta itu sendiri tak pernah mengenal status, maupun keadaan bagaimanapun," sahutnya berfilsafat seraya menjentikkan abu rokoknya ke dalam asbak.
"Saya tak sekalipun menghakimimu. Sama sekali tidak. Dan maaf, saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu." Perempuan itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"No problem. Â Justru saya sendiri ingin meminta pendapatmu mengenai hal ini," katanya lirih, dibarengi tatapan teduh dari bola matanya. Saya tersenyum lega.
"Memang benar, cinta yang sedang bersemi di hatimu sah-sah saja pada siapa pun kau berikan. Hanya saja cinta itupun sepertinya tidak pernah dapat berdiri sendiri. Terlebih lagi bila moral ikut bicara. Lagi pula cinta yang kita bicarakan sekarang ini, identik dengan gejolak asmara yang selalu saja dibarengi fantasi birahi. Betul tidak?"
Eh, perempuan itu malah meniru pelakon Si Ipin dalam serial kartun anak-anak di layar televisi, "Betul, betul, betul..." Dan suasana pun terasa semakin cair. Kami berdua tertawa sambil menikmati pesanan yang terhidang di atas meja.