Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budaya "Mata Duitan" dan Benang Kusut Demokrasi

24 November 2017   15:17 Diperbarui: 24 November 2017   15:30 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber:voa-islam.com)

Pernyataan politisi senior Partai Golkar, Hajriyanto Y. Thohari, bahwa partai politik warisan rezim Orde Baru, ini tidak bisa dilepaskan dari politik uang dalam proses pemilihan ketua umum. Siapa saja yang ingin terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar harus memiliki kekayaan berlimpah. Bahkan terpilihnya Setya Novanto menjadi pucuk pimpinan tertinggi partai berlambang pohon beringin itupun tidak terlepas dari melimpahnya harta Setya Novanto juga. Sehingga banyak kegiatan partai pun yang dibiayai dari kocek pribadi Ketua Umumnya yang saat ini mendekam dalam tahanan KPK.

Di satu sisi, pernyataan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu membuat publik berkomentar, "O, pantesan para kompanyon SN begitu membabi-buta membela Sang Ketum. Apalagi kalau bukan karena duit. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka pun ikut menikmati duit hasil yang diduga diperoleh dari megakorupsi KTP elektronik itu..."

Sementara di sisi lain publik pun beranggapan,  sebenarnya hal seperti itu bukanlah sesuatu hal yang baru lagi dalam dunia politik di Indonesia dewasa ini. Bukan hanya terjadi di partai Golkar saja, suka maupun tidak semua parpol setali tiga uang dalam urusan duit dan korupsi. Bahkan  parpol  yang berasaskan agama pun tampaknya sudah tak layak lagi mengaku sebagai partai politik bersih. Tokh kader-kadernya banyak juga yang berurusan dengan KPK.

Juga tidak hanya terjadi di tingkat pusat saja budaya -- kalau hal ini disebut demikian, mata duitan, itu melainkan sudah merambah hingga ke level paling bawah.

Di dalam pemilihan Kepala Desa misalnya, meskipun di antara warga tersebut ada seorang yang memiliki potensi untuk memimpin desanya, baik integritas, kapabelitas,  maupun wawasan manajerial kepemimpinannya lumayan mumpuni, ditambah lagi usianya masih muda, namun karena  satu syarat lagi tidak terpenuhi, yaitu harta untuk biaya pencalonannya, apa boleh buat, warga pun tak lagi sudi mendorongnya menjadi bakal calon kepala desa. Bahkan bisa jadi justru harta jualah oleh warga dianggap sebagai syarat mutlak bagi seseorang yang hendak bertarung dalam ajang pesta demokrasi.

Bukan hal yang aneh lagi bila seorang warga diajak oleh tim sukses untuk mendukung jagoannya, dengan tanpa tedeng aling-aling lagi menjawab ajakan tersebut dengan ungkapan, "Ada amplopnya tidak? Kalau ada, siap mendukung. Sebaliknya kalau hanya omong kosong saja, aduh, bagaimana ya, hanya dalam kesempatan seperti ini rakyat kecil akan memperoleh sedekah dari calon pemimpinnya (atau calon wakilnya). Karena kalau sudah jadi, boro-boro bagi-bagi rejeki, datang berkunjung saja sepertinya sudah tidak sudi lagi."

Fenomena seperti itu, bisa jadi dikatakan sebagai buah dari perilaku mata duitan politisi sendiri yang ditularkan kepada rakyat. Dan jika ditelusuri, sudah berlangsung sejak jamannya rezim Orde Baru yang bertahta hampir 32 tahun di negeri ini. Berangkat dari pembiaran sikap korup para pejabat di semua lini dalam pelayanan kepada rakyat, yang memunculkan istilah pungli (pungutan liar), salam tempel, uang kerahiman, uang pelicin di dalam penerimaan pegawai negeri  sipil, calon anggota TNI dan Polri, siswa maupun mahasiswa baru, senantiasa dibarengi praktik uang pelicin yang jumlahnya lumayan besar agar dapat diterima masuk dengan mulus dan lancar. Sehingga pada ahirnya berkembang  seolah sudah menjadi sebuah budaya dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Bahkan beberapa waktu lalu, menjelang Pilkada serentak 2018 mendatang, Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengakui kalau pihaknya pernah dimintai uang mahar oleh petinggi DPP Partai Golkar melalui utusannya, agar Bupati Purwakarta itu menjadi bakal calon Gubernur Jawa Barat.

Terlepas dari benar tidaknya pernyataan Bupati yang mencintai budaya warisan leluhur Sunda itu, karena pernah dibantah pihak DPP Partai  Golkar melalui ketua harian, Nurdin Halid, namun bola sudah menggelinding liar.. Terlebih lagi dengan keadaan Ketua Umumnya yang saat ini meringkuk sebagai tahanan komisi antirasuah, ditambah lagi dengan pernyataan Wakil Ketua MPR.

Apa boleh buat. Partai korup, dan sudah menular pada khalayak, sehingga budaya mata duitan kian berkembang biak, menjadi benang kusut yang sulit diurai memang. Terlebih lagi merubah suatu habbit yang sudah membudaya dan melembaga, memerlukan waktu yang lumayan lama. Kecuali kalau pemerintah sendiri, dengan dukungan rakyat yang masih waras tentunya, mau konsisten bertindak tegas, misalnya dengan memiskinkan koruptor, atau meniru pemerintah Cina yang sampai menghukum mati oknum pengemplang duit negara, maka budaya korup, dan mata duitan tersebut tidak menutup kemungkinan akan lenyap dari negeri ini.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun