Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Untuk Apa Jadi guru?

22 Februari 2012   13:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:19 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

DEMO ribuan guru honorer beberapa hari lalu, merupakan salah satu indikasi demikian banyaknya orang yang ingin jadi guru. Karena ketika yang bersangkutan masih berstatus guru honorer, atau sukarelawan, sebagian besar kehidupannya berada di bawah garis kemiskinan. Misalnya saja mereka yang mengajar di sekolah dasar, upah bulanan yang diterimanya memang jauh dari upah minimum regional. Boleh dibilang  alakadarnya saja.

Coba saja bayangkan. Berangkat dan pulang mengajar harus berjalan kaki meskipun panas atau pun hujan, hidup numpang di rumah mertua dengan berdesakan, baru sehari menerima honorarium yang tidak seberapa itu sudah habis dipakai membayar utang. Sehingga wajar bila mereka menuntut pengangkatan kepada para pengambil kebijakan.

Karena memang  seorang guru tetap (PNS) bisa dikatakan kehidupannya cukup terang-benderang. Gaji dan tunjangan akan terus mengalir setiap bulan. Ditambah lagi dengan dana setifikasi. Wah, baru setahun diangkat, sepeda motor keluaran terbaru sudah mampu dimilikinya, meskipun dengancara  dicicil saban bulan. Di tahun berikutnya dia pun sudah bisa membangun rumah, walau harus menggadaikan sk pada sebuah bank yang memberi kelonggaran pembayaran kredit  5 – 10 tahunan.

Sehingga mau tidak mau, suka atau tidak, diakui maupun tidak, tudingan miring pun bermunculan. Keinginan untuk menjadi guru ternyata karena hanya demi mengejar kesejahteraannya saja. Sementara tugas dan fungsi yang sesungguhnya, justru dinomor sekiankan. Apalagi setelah adanya program BOS, selain gaji dan tunjangan, dana untuk bantuan operasional sekolahpun dianggap sebagai dana cadangan yang bisa digunakan untuk menutup kebutuhan pribadi. Bahkan jangan aneh, bila banyak di antara kepala SD saat ini yang bisa pergi naik haji.

Sebagai contohnya, di wilayah kecamatan tempat saya tinggal, dari 300-an guru SD hanya sebagian kecil saja yang melaksanakan tugas dan kewajibannya secara benar. Maksudnya sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasisebagaimana ketentuannya. Sementara yang lainnya, justru sibuk dengan urusannya sendiri – sebagaimana disebutkan di atas tadi. Tiba di kelas selalu kesiangan. Melaksanakan tugas mengajar, cukup menyuruh seorang siswa untuk berdiri di depan, membaca (dikte) buku pelajaran sesuai jadwal. Sementara sang guru sendiri duduk terkantuk-kantuk, karena begadang semalaman. Sehingga baru tiba pukul sebelas, kelaspun dibubarkan, dan sang guru buru-buru pulang.

Padahal kalau direnungkan kembali, kata guru, yang asalnya dari bahasa Sanskerta yang maknanya sebagai pengajar suatu ilmu, dan kalau diterjemahkan secara harafiah yang artinya adalah b e r a t, memang sesungguhnya begitu berat tugas mengajar untuk mencerdaskan generasi mendatang itu. Guru yang mesti digugu dan ditiru. Konsekwensinya mesti menjadi suri dan tauladan.  Apalagi di jaman sekarang yang begitu banyak tantangannya. Orang bilang, jaman terjadinya degradasi akhlak dan moral.

Seandainya saja ada yang mengatakan,  kalau di negeri ini begitu banyaknya pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi, sikapnya sudah tidak mengenal sopan-santun lagi , karena memang guru di sekolahnya tidak becus mengajar dan mendidiknya. Wah, pasti seluruh guru akan langsung memprotesnya. Masalah korupsi dan terjadinya penurunan kualitas moral bangsa ini, jangan hanya menyalahkan guru. Karena pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak. Orang tua, lingkungan, dan sekolah. Malahan waktu di sekolah cuma beberapa jam saja. Yang lebih bertanggung jawab adalah orang tuanya. Begitulah biasanya para guru membela diri.

Untuk mengatasi masalah ini, sudah selayaknya para pengambil kebijakan jangan hanya menjawab tuntutan peningkatan kesejahteraannya saja. Sudah waktunya juga untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan tugas guru di lapangan.

Memang saat ini ada yang namanya pejabat pengawas itu. Tapi tokh mereka diangkat dari internal, sehingga tidak menutup kemungkinan masih ada ‘kebijakan’ yang bijak-sana dan bijak-sini. Terbukti belum ada perubahan yang signifikan. Masih banyak guru yang melaksanakan tugasnya asal-asalan. Oleh karena itu diperlukan pengawas independen – yang memiliki integritas tinggi dan berkualifikasi, tentu saja. Karena, katanya: Guru juga manusia...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun