Sore ini saya mendapat undangan rapat di rumah Pak RT. Tidak melalui surat, melainkan – seperti biasanya – didatangi door to door oleh Mang Uci, anggota Hansip di lingkungan kami. Menurut Mang Uci, saat saya tanya, agenda rapat kali ini adalah merundingkan perbaikan rumah Ma Unah, seorang janda tua yang termasuk RTM (Rumah Tangga Miskin), dan sudah jompo lagi.
Sehabis shalat Asar, saya menuju rumah ketua RT yang hanya terhalang empat rumah, di sebelah timur rumah saya. Di tengah jalan saya berpapasan dengan Kang Dodo yang seperti terburu-buru.
“Lho kenapa balik lagi. Apa rapatnya sudah selesai, Kang ?” tanya saya.
“Belum. Malahan yang hadir baru ada beberapa orang saja, “ jawab Kang Dodo, “ Iya.Soalnya saya ada keperluan lain. Mau mengantarkan si bungsu ke dokter. Tapi tadi saya sudah tandatangan di daptar hadir. Artinya keberadaan saya sudah diakui,”lanjutnya.
“Maksud Akang ?”
“Wah, ketinggalan jaman Bapak ini,” kata Kang Dodo sambil tertawa, “Seperti yang saya baca di koran, bahwa yang namanya peserta rapat, tidak perlu mengikuti jalannya rapat. Dengan hanya membubuhkan tandatangan di daptar hadir saja sudah dianggap memiliki hak suara koq. Sebagaimana aturan Tata-tertib DPR sekarang.”
Saya terhenyak.
Betapa cepatnya rakyat menyerap, dan langsung ikut pula menerapkan aturan tata tertib yang diberlakukan sekarang di DPR.
Dalam tata tertib DPR sebelumnya di dalam Pasal 243 ayat 1: Setiap anggota wajib menandatangani daftar hadir dan membubuhkan cap jari pada alat kehadiran elektronik sebelum menghadiri rapat." Aturan dalam ayat itu diperkuat dengan ayat 2 yang berbunyi, "Kehadiran yang dimaksud pada ayat 1 adalah kehadiran fisik."
Sedangkan dalam tata tertib DPR yang baru, Pasal 249 ayat 1 menyebutkan, "Untuk kepentingan administrasi setiap anggota menandatangani daftar hadir sebelum menghadiri rapat."
Ayat 2 di pasal yang sama menyebutkan, "Kehadiran anggota yang dimaksud pada ayat 1 menjadi dasar bagi kepemilikan hak untuk pengambilan keputusan."
Itulah masalahnya. Artinya sekarang ini seorang anggota Dewan, kalau malas – atau ada keperluan lain, untuk mengikuti sidang paripurna, misalnya, cukup membubuhkan tandatangan dalam daptar hadir dan membubuhkan cap jari pada alat kehadiran elektronik. Setelah itu silahkan mau pergi lagi juga. Tak masalah. Karena hanya dengan itu saja juga sudah dianggap menjadi dasar bagi kepemilikan hak dalam pengambilan keputusan.
Enak sekali kalau begitu caranya. Jadi media pun tidak usah repot-repot lagi memberitakan suasana suatu sidang paripurna, misalnya, sementara anggota Dewan peserta sidangnya pun hanya beberapa gelintir saja. Tokh karena aturannya memang demikian adanya.
demikian juga rakyat yang menitipkan aspirasi kepada wakilnya di Senayan sana, jangan merasa heran kalau aspirasinya “ditelikung”, karena boro-boro disampaikan dalam sidang paripurna, si wakil rakyatnya pun tidak tampak di ruang sidang.
Sehingga ahirnya kitapun hanya mampu bergumam, siasia saja memilih wakil di DPR kalau begini caranya.
Padahal fasilitas untuk kebutuhan anggota DPR yang mengaku wakil rakyat itu, per kepalanya saja dalam satu bulan cukup untuk membangun saluran irigasi yang akan mengairi sawah puluhan hektar. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H