UNGKAPAN “Tak ada makan siang gratis” konon merupakan peribahasa yang berasal dari bangsa Cina. Kalau dimaknai sepintas, menunjukkanbetapa kerasnya kehidupan yang mesti dilakoni seseorang. Hubungan antarmanusia yang satu dengan yang lain dinilai oleh adanya timbal-balik yang saling menguntungkan. Seseorang yang bersikap baik terhadap orang lain, tidak menutup kemungkinan ada maksud tertentu di balik kebaikannya itu. Katakanlah: Ada udang di balik batu.
Seorang pedagang warung nasi, dihampiri oleh seseorang yang tampaknya kelaparan. Dengan memelas, orang itu memang mengaku kalau dirinya sudah tidak makan selama tiga hari ini. Karena tidak memiliki uang barang satu rupiah pun.
Pedagang nasi itu tahu betul kalau orang itu jelas kelaparan memang, dan mau memberi makan kepadanya. Tapi dengan syarat, orang itu harus mau membantu pedagang nasi untuk, misalnya mencuci piring-piring yang kotor, atau membersihkan sampah yang berserakan di sekitar warung.
Ketika beberapa tahun lalu saya sedang hidup menggelandang di wilayah pantura Jawa Barat, dua orang kenalan (penduduk asli daerah itu) datang bertamu ke kost-an saya. Mereka mengabarkan bahwa tetangganya akan mengadakan pesta pernikahan anaknya. Dan saya mendapat kehormatan undangan, agar hadir pada waktunya.
Ternyata selain undangan yang berupa surat sebagaimana biasanya surat undangan yang berhiasan foto calon mempelai, dan terbuat dari kertas tebal serta tulisan yang dihias tinta berwarna keemasan, mereka pun menyodori saya berbagai jenis rokok kretek yang harus saya pilih.
Setiap bungkus rokok itu, kata mereka, memiliki nilai yang yang berbeda. Tergantung harga rokok tersebut di pasaran. Misalnya saja kita mengambil rokok kretek yang harganya paling mahal, maka ketika kita hadir di pesta pernikahan itu konsekwensinya harus menyerahkan amplop yang berisi uang minimal senilai Rp 100 ribu kepada Sang shahibul bait, atau tuan rumah yang menyelenggarakan pesta pernikahan itu. Dan itu sudah menjadi suatu ketentuan. Suka maupun tidak harus dibayar dengan uang sebesar itu. Karena oleh yang mengundang pun nama kita sudah dicatat dalam buku tulis yang dibawanya.
Sama halnya dengan para calon anggota dewan saat kampanye menjelang Pemilu. Melalui para tim suksesnya, atau langsung oleh yang bersangkutan, manakala diselenggarakan acara ‘pertemuan’ dengan warga di suatu tempat, selain menyodorkan program terbaiknya, tak lupa pula kepada hadirin dibagi-bagikan amplop berisi uang. Kalau di kampung biasanya isi amplop itu berkisar antara Rp 20 ribu – Rp 50 ribu. Tergantung siapa warga yang diberi amplop itu. Biasanya kalau warga biasa (awam, katanya), ya Rp 20 ribu saja sudah dianggap lumayan. Sedangkan nilainya yang lebih besar, akan disodorkan kepada mereka yang dianggap tokoh masyarakat.
Sudah tentu para calon anggota dewan itu dengan membagi-bagikan uang kepada warga, berharap agar di saat pencoblosan mereka memilih dirinya. Demikian juga halnya dengan orang yang mengadakan pesta pernikahan di pantura Jawa Barat yang membagi-bagikan rokok kretek. Ternyata tidaklah gratis, alias cuma-cuma. Melainkan musti ada timbal baliknya.
Apakah para pimpinan BUMN yang sekarang merasa ‘diperas’ anggota dewan juga awalnya karena mereka butuh dukungan agar kucuran dana dari pemerintah segera dicairkan? Demikian juga sebagaimana M. Nazrudin yang memberikan uang, katanya kepada Menpora dan keluarganya, itupun agar dimuluskan proyek yang digarapnya itu?
Wallohu 'alam... Jaman sekarang tak ada makan siang gratis memang.***
Gegerbeas, 08/12/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H