Seorang teman di dunia maya, tepatnya di media sosial facebook, menulis di dalam statusnya yang maksudnya kurang lebih mempertanyakan definisi ‘ulama. Ah, tidak. Teman yang satu ini tampaknya bukan bertanya karena dirinya sama sekali tidak mengetahui makna dari kata itu. Bisa jadi ia sedang ‘terpesona’ dengan fenomena yang terjadi di negeri ini, belakangan ini. Paling tidak mengarah pada satu sosok yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai seorang yang kontroversial.
Ya, publik pun mafhum. Siapa lagi kalau bukan Riziek Shihab, pemimpin ormas berbasis agama (Islam) yang pernah curhat ke anggota DPR beberapa waktu lalu. Konon, sebagai ulama, dirinya merasa dikriminalisasikan.
Setelah saya menyimaknya lebih lanjut, dari status yang ditulis di wall teman tersebut, muncul komentar yang beragam.
Bagi saya sendiri, menyimak komentar yang muncul, memang ada yang tiba-tiba membikin tersenyum sendiri, karena menanggapinya dengan humor. Tetapi ada juga yang membuat dahi berkerut. Karena selain sudah ‘melenceng’ dari pokok permasalahan yang mengemuka, juga menanggapinya pun seperti dibarengi emosi dan tensi yang tinggi.
Sungguh. Saya pun menjadi ikut terpesona, dan menjadi penasaran karenanya. Apa sih ‘ulama itu?
Memang, ketika suatu saat di masa saya aktif dalam pengajian remaja masjid, pernah mengundang seorang ajengan, atawa kiyai yang cukup kondang namanya di daerah kami. Sebelum memberikan tausiyahnya, ajengan itu sepertinya mengoreksi pengatur acara yang menyebut ajengan itu dengan sebutan ‘ulama besar. Ajengan itu menolak disebut sebagai ‘ulama. Karena, katanya, setelah mama Kudang (Seorang ‘ulama di di Tasikmalaya pada jaman awal kemerdekaan) meninggal dunia, sudah tidak ada lagi yang layak disebut ‘ulama.
Lebih jauh ajengan tersebut menjelaskan, bahwa untuk mendapat sebutan ‘ulama, maka paling tidak harus memenuhi kriteria, (1). Orang yang paling takut kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Qur’an, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama” (Al Fathir: 28), karena ia dianugerahi berbagai ilmu, tahu rahasia alam, hukum-hukum Allah, paham hak dan batil, kebaikan dan keburukan, serta senantiasa mengamalkan ilmunya secara istiqomah, atawa tiada henti-hentinya. Lalu, (2) Harus berperan sebagai “pewaris nabi” (waratsatul ambiya’). “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)”.
Seorang ulama menjalankan peran sebagaimana para nabi, yakni memberikan petunjuk kepada umat dengan aturan Islam, seperti mengeluarkan fatwa, laksana bintang-bintang di langit yang memberikan petunjuk dalam kegelapan semesta alam. Dan (3) Senantiasa terdepan dalam dakwah Islam, menegakkan ‘amar ma’ruf nahyi munkar, menunjukkan kebenaran dan kebatilan sesuai hukum Allah, dan meluruskan penguasa yang zhalim atau menyalahi aturan Allah – dengan cara, dan akhlak yang dicontohkan Rasul Muhammad SAW, tentu saja.
Bagi saya sendiri, yang disampaikan ajengan tadi, yang didengar sekian puluh tahun lalu, bisa jadi merupakan pengetahuan tentang definisi ‘ulama untuk pertama kalinya. Tetapi tetap saja ‘pancingan’ teman di facebook itu membuat saya penasaran untuk mencari tahu lebih banyak tentang status di walll-nya itu.
Hanya saja mengingat, dan merasa diri ini sudah mulai memasuki periode ‘mudah lupa, dan sulit mengingat’, apa lagi yang dilakukan kalau bukan membuka kamus, dan beberapa rujukan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang selalu setia berada di atas meja tulis saya, kata ulama itu artinya adalah orang yang ahli dalam hal, atau dalam pengetahuan Islam. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, yang bernama lengkapAbu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus, sekarang termasuk wilayah Irak, pada 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H), salah seorang ‘ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia, dan mendapat gelar Hujjatul Islam,menulis dalam salah satu kitab karyanya, yakni Ihya ‘Ulumuddin, bahwa “Tradisi ulama adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah… kerusakan masyarakat adalah akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa itu akibat kerusakan ulama.”