Sebenarnya saya tidak memiliki kepentingan apa pun dalam perhelatan Pilgub DKI Jakarta. Karena memang saya bukan warga Jakarta. Tetapi saya terus mengikuti perkembangannya dengan membaca media, dan terkadang menonton lewat layar kaca. Ternyata semakin dekat pada hari-H, betapa saya sendiri ikut merasakan suhunya semakin panas saja. Persaingan antar kandidat begitu ketat. Untuk memikat konstituen, tidak hanya beradu program yang kelak andai terpilih akan dilaksanakan, melainkan cara-cara di luar batas pun demi menjatuhkan lawan tidak lagi diharamkan.
Sungguh. Saya sungguh tersentak dibuatnya dengan pernyataan salah seorang kandidat, yakni Anies R. Baswedan, yang mengajak warga untuk sama-sama menyelamatkan Jakarta dari kepemimpinan Pemprov DKI saat ini.
Kemudian mantan Mendikbud di Kabinet Jokowi-JK ini pun menyatakan, Â "Kalau rapornya merah diluluskan apa enggak? Enggak usah ikut lagi. Tapi kalau maksa mau ikut, ya terpaksa kita hentikan," kata Anies saat bertemu dengan alumni Universitas Indonesia di Inn Sofyan Hotel, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (28/1/2017).
Kalimat terahir yang diucapkan Anies di atas, terkesan sepertinya dia mulai membuka topeng yang selama ini menjadi imej tentang seorang tokoh intelektual muda Indonesia terkemuka, di dalam kenyataannya sungguh bertolak belakang.
Apa lagi dengan kalimat yang dilontarkan selanjutnya, bahwa dirinya dengan Sandiaga S. Uno yang merupakan pasangannya, bukan hendak menantang calon pertahana, Basuki T. Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Tetapi da hendak menghentikan pertahana. Â "Dengan rapor merah itu kita ganti saja. Jadi beliau (petahana) kita siapkan untuk kembali ke kampung halaman, dan Jakarta dibebaskan dari kotak-kotak," ujar Anies.
Betapa ucapan Anies Baswedan tersebut seperti bukan yang keluar dari mulut seorang cendikiawan, dan mantan pendidik berpendidikan tinggi, melainkan (maap!) ungkapan yang biasa terdengar dari kejumawaan seorang preman pasar. Begitu lugas, tanpa tedeng-aling-aling, dan sok pula. Sama sekali tidak mencerminkan seorang Anies R. Baswedan yang sebelumnya dikenal begitu santun, dan menjunjung moral.
Benarkah seperti itu ‘wajah’ Anies yang sesungguhnya, atawa karena emosi  yang dipengaruhi suhu persaingan dalam merebut hati konstituen yang kian membara adanya? Â
Memang dalam sistem demokrasi kebebasan untuk berbicara merupakan hak seluruh warga. Apa lagi dalam suasana perebutan kursi seperti sekarang ini dalam pemilukada. Bisa saja diklaim sebagai sesuatu yang sah-sah saja. Â
Hanya saja kalau sudah mengeluarkan statemen yang nadanya jumawa seperti itu, jangankan akan meraih banyak dukungan, sebaliknya, yang ada malah bisa jadi yang awalnya menaruh simpati pun akan berubah menjadi antipati.
Patut diingat, meskipun jaman semakin maju, kebebasan bersuara dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, tapi etika masih tetap harus dikedepankan. Apa lagi, ya apa lagi, Anies R. Baswedan selama ini dikenal sebagai seorang cendikiawan. Selain itu, kita masih ingat, bagaimana sikap sebagian besar masyarakat dalam menentukan pilihannya ketika menghadapi suatu perhelatan demokrasi, sebagaimana yang akan dilaksanakan tidak lama lagi.
Sejarah mencatat, kandidat yang di mata masyarakat sedang teraniaya seringkali menjadi pilihannya. Bisa jadi nurani warga ikut terusik, dan menjadi jatuh iba dibuatnya. Bermula pada awal reformasi, PDIP yang selama rezim Orde Baru dikucilkan, dalam Pemilu 1999 muncul sebagai peraih dukungan suara terbanyak, mengalahkan hegemoni partai Golkar yang sebelumnya selalu menjadi nomor satu. Kemudian disusul oleh SBY dalam Pilpres 2004 yang bersaing dengan Megawati yang notabene sebagai pertahana, dan SBY sendiri merupakan pembantunya di dalam kabinet. Ketika itu masyarakat melihat SBY seolah teraniaya oleh sikap ‘majikan’-nya.