PERISTIWA ini nyata adanya. Terjadi sekitar 25 tahun lalu. Jawara silat tetanggaku, biasa dipanggil Mang Inding, dalam keadaan sakit parah. Selain dimakan usia, juga telah lama dia mengindap penyakit jantung dan darah tinggi.
Istri dan lima anaknya tampak tidak jauh dari tempat Mang Inding berbaring. Para tetangga – termasuk aku, menyaksikan jawara silat itu yang sekarang tergolek lemah tak berdaya. Padahal seingatku, orang tua yang satu ini sebelumnya tidak pernah mengalami sakit separah ini.
Selain mengajarkan ilmu bela diri kepada murid-muridnya yang lumayan banyak, saban hari dia pun selalu bekerja membanting-tulang untuk menafkahi keluarganya. Pekerjaan tetap yang dia jalani adalah sebagai buruh cuci dan seterika pakaian. Kalau sekarang boleh dikatakan usaha laundry. Tapi dengan cara tradisional bin manual.
Maksudnya dia saban pagi berkeliling dari pintu ke pintu mengambil pakaian kotor, dan sekaligus mengembalikan pakaian yang telah rapi dikerjakannya kepada para langganan. Selanjutnya dia mencuci pakaian kotor yang dikumpulkannya – rata-rata dalam sehari ada satu bakul – di pemandian umum. Sedangkan untuk menjemurnya dia pasang tali tampang di sekitar halaman rumahnya.
Menjelang sore pakaian itu diseterika dengan seterikaan besar dari besi yang pengaitnya berbentuk ayam jantan. Ada pun pemanasnya adalah kayu arang yang dibakar. Dan untuk memperoleh kayu arang itu pun diambil sendiri oleh Mang Inding dari pokok pohon yang sudah ditebang.
Menjelang malam hari, aktivitas orang yang satu ini dilanjutkan dengan mengajar ilmu bela diri silat kepada murid-muridnya. Berbagai aliran ilmu seni bela diri itu dia kuasai memang. Dari aliran Cikalong, Cimande, dan lain sebagainya. Termasuk ilmu kanuragan yang banyak diturunkan kepada murid-muridnya yang telah mencapai tingkat tinggi.
Aku sendiri memang pernah menjadi muridnya juga. Tapi sebatas belajar jurus-jurusnya saja. Selain karena tertarik dengan gerakan-gerakannya yang kental dengan unsur seni, juga agar tubuhku bisa sehat seperti Mang Inding itu.
Tetapi saat menyaksikan keadaannya dalam menderita sakit seperti itu, membuatku semakin sadar. Hidup di dunia ini tidaklah kekal memang. Sebagaimana dikatakan Mantri kesehatan yang kami panggil untuk memeriksa kesehatan Mang Inding, bahwa penyakitnya tidak dapat ditolong lagi. “Sudah terlalu parah,” katanya.
Maka kepada anak-anaknya aku pun meminta supaya mengaji Yasin. Salah seorang tetangga berinisiatif menuntun si sakit mengucap kalimat Syahadat, Istighfar, dan Dzikir... Eh, si sakit bukannya mengikuti tuntunan orang itu. Mang inding justru bangkit dari tidurnya. Lalu dia meminta secangkir kopi kental kesukaannya dengan suara yang parau dan lemah.
Semua orang dibuat keheranan, tentu saja. Tapi istrinya yang berwajah sembab, segera bergegas menuju dapur. Tak lama secangkir kopi yang masih mengepul panas pun diberikannya kepada si sakit. Dan dengan dibantu istrinya Mang Inding menyeruput kopi kesukaannya itu.
Selesai meneguk kopi yang masih panas itu, Mang Inding lalu membaringkan kembali tubuhnya. Dan... Innalillahi wa inailaihi raji’uun... Mang Inding, jawara silat itu pun menghembuskan nafasnya yang terahir. ***
Gegerbeas, 25/11/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H