[caption caption="Ilustrasi: http://www.penaaksi.com/2013/02/konspirasi-dibalik-tanda-silang.html"][/caption]Pak Kadar sadar, sikap berseberangan dengan warga yang selama ini dilakukannya, tampaknya malah akan menjadi bumerang. Bisa-bisa warga yang selama ini masih setia ada di belakangnya, satu per satu akan meninggalkannya. Kemudian berpindah tempat, berada tepat di belakang Pak RT yang sejak Pilkarut (Pemilihan Ketua Rukun Tetangga) adalah musuh besarnya.
Warga tak cukup diberi sebungkus rokok kretek, dan segelas kopi saja ternyata - untuk menjadi pendukung setianya, tentu saja. Kecuali si Bohim yang memang sejak lama merupakan pembantunya. Sejak Pak Kadar masih anak-anak, Si Bohim sudah serumah dengannya. Karena kedua orang tua Si bohim adalah pembantu di rumah orang tua Pak Kadar. Keduanya sepantaran usianya. Jadi sejak kecil keduanya selalu bersama-sama. Si Bohim selalu berada di dekat Kadar kecil. Melayani segala kebutuhannya. Demikian juga saat keduanya meningkat remaja. Si Bohim semakin lengket saja di dekat Pak Kadar. Kalau ada pemuda yang mengganggu majikannya, maka Si Bohim akan tampil ke depan untuk mempertaruhkan nyawa, demi membela anak majikannya itu. begitu pula ketika Kadar remaja naksir seorang gadis, maka Si Bohim memiliki peran ganda, selain sebagai pengawal, dia pun akan menjadi tukang pos, pengantar surat cinta. Ketika Kadar berumah tangga, Si Bohim pun diboyongnya, sebagai pembantu setia keluarga muda itu. sehingga tak disangsikan lagi kesetian Si bohim terhadap dirinya. Mustahil pembantunya itu akan ikut-ikutan membelot ke Pak RT seperti warga yang lain.
Memang benar. Warga tidak cukup disuguhi rokok dan kopi saja. Bahkan amplop berisi uang sebesar sepuluh ribu rupiah pun belum cukup mengikat hatinya untuk bersikap setia. Apalagi ditambah dengan tak diterimanya saran dan masukan mereka oleh dirinya, maka tak pelak lagi esok harinya mereka pun akan angkat kaki, dantak pernah menginjak rumahnya lagi. Dan yang paling menyakitkan ya itu tadi, mereka berbondong-bondong membelot ke Pak RT yang telah mengalahkannya saat pemilihan ketua RT (Pilkarut) dua tahun lalu.
“Aku selama ini egois memang. Keras kepala. Tak pernah mendengar saran dan pendapat orang-orang di sekelilingku,” gumam Pak Kadar sembari menatap sawahnya yang sedang ditanami padi.
“Semua orang pergi meninggalkanku. Sehingga kesempatan untuk maju lagi Dalam Pilkarut tiga tahun mendatang, harapan untuk menang akan semakin hilang saja...”
Di kejauhan dilihatnya bayangan Si Bohim memanggul cangkul menuju ke arahnya.
“Dari mana saja, Him, dari tadi baru kelihatan ?”
“Anu Den, saya sejak pagi membetulkan saluran air di hulunya yang tertimbun longsoran tebing, “ sahut Si Bohim sambil mengusap-usap mulutnya.
“Ya, pantesan airnya kecil. Kalau begitu ayo kita istirahat di saung sambil ngopi.”
Majikan dan pembantunya itu jalan beriringan di pematang menuju saung (dangau) di tengah areal sawah.
***