Sebagaimana diungkapkan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, dan dipertegas dengan pernyataan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Ahmad Basarah, diam-diam ternyata ada seorang menteri di Kabinet Kerja yang telah dengan beraninya menghina Presiden Joko Widodo.
Terlepas dari bagaimana bentuk penghinaan sang menteri tersebut – karena baik Tjahjo maupun Basarah tidak menyebutkan secara rinci penghinaan yang dilontarkan, maupun jati diri dari menteri yang bersangkutan, akan tetapi hal itu bisa jadi merupakan sesuatu yang sangat memalukan, dan sungguh naif tampaknya bila memang kejadian seperti itu bebar-benar terjadi.
Sungguh. Seorang menteri yang notabene sebagai pembantu Presiden telah dengan lancangnya menghina majikannya sendiri, adalah suatu hal yang tidak pantas, dan itu namanya suatu tindakan yang kurang ajar, serta menjatuhkan kewibawaan seorang Presiden yang menjadi lambang NKRI.
Akan tetapi sepertinya kejadian itu bisa jadi bermuara pada sikap Presiden Jokowi sendiri di dalam pengangkatan para pembantunya yang tergabung di dalam Kabinet Kerja. Di samping terlalu kompromis dengan parpol pendukung beliau, persyaratan yang diajukan Jokowi saat akan membentuk kabinetnya ketika itu, antara lain berkompeten, memiliki integritas, dan memiliki kemampuan managerial leadership yang kuat.
Ya, hanya tiga hal itu yang pernah dikemukakan Jokowi kepada publik. Dan mantan gubernur DKI itu tampaknya lupa pada syarat lain yang mustinya diminta pada calon pembantunya tersebut, yakni loyalitas, atawa kesetiaan terhadap majikan... Eh,kepada orang yang mengangkatnya (Dalam hal ini adalah jokowi sendiri, tentu saja). Namun bukan dalam arti kesetian yang membabi-buta, melainkan setia dalam melaksanakan tugas dan mengawal seluruh program yang telah dicanangkan Presiden.
Di samping loyalitas, tak kalah pentingnya dalam mengangkat calon pembantunya tersebut seharusnya Jokowi memilih orang-orang yang memiliki akhlak yang mumpuni. Maksudnya mampu memelihara perilaku baik, baik terhadap majikannya, sesamanya, maupun sikap di depan publik. Tokh sejak bocah setiap orang telah diajari untuk berlaku santun sesuai adat budaya dan etika yang berlaku.
Sehingga suka maupun tidak, Presiden Jokowi di dalam mengangkat pembantunya tersebut boleh dikata telah kecolongan. Lha, jangankan orang-orang yang selama ini tidak suka pada Jokowi yang hampir saban saat menyindir, dan mencaci-maki, bahkan pembantunya sendiri ternyata sudah berani kurang ajar dengan menggunting dalam lipatan. Apalagi namanya kalau kali ini Presiden Jokowi sudah kecolongan.
Oleh karena itu, bertepatan dengan wacana reshuffle kabinet yang telah menggelinding liar selama ini, alangkah baiknya Presiden Jokowi bersikap lebih arif dan hati-hati di dalam mengangkat calon pembantu (menteri)-nya itu. Sikap kompromis dengan partai pendukung kalaupun tidak dilakukan seperti kemarin dulu, paling tidak ya kadarnya janganlah terlalu kental. Maksudnya sedikit jaga jaraklah. Selain itu loyalitasnya pun patut dituntut agar kejadian seperti kali ini tidak terulang lagi.
Orang bilang, jangan menggali lubang yang sama, sepertinya harus dicatat dan selalu disimpan dalam kantong baju Presiden agar memudahkan untuk diingat saban saat. Sebagaimana program Nawa Cita yang menjadi visi dan misi Jokowi sendiri, rasanya sungguh bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi saat ini, seperti misalnya kurs rupiah terhadap dollar yang melemah, dan diikuti dengan harga-harga kebutuhan melambung tinggi, bisa jadi menteri yang duduk di bidang ekonomi pun patut dikaji-ulang lagi eksistensinya. Karena bagaimana pun secara implisit telah ikut melemahkan, alias menjatuhkan popularitas Presiden sendiri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H