[caption caption="Ilustrasi "][/caption]Koalisi Permanen Merah Putih (KMP) yang dideklarasikan di Tugu Proklamasi, Jakarta, 14 Juli 2014, tinggal kenangan memang. Karena dua hari lalu (4/02/2016) Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, menyatakan KMP secara de facto sudah bubar, dan tinggal partai Gerindra sendirian yang jadi partai oposisi sekarang.
Pernyataan Ahmad Muzani itu bisa jadi karena melihat sekutu-sekutunya, antara lain: partai Golkar, PPP, PKS, PAN, dan PBB yang waktu itu mendeklarasikan diri untuk seiring dan sejalan, senasib dan sepenanggungan, dalam kenyataannya satu per satu mulai goyah, bahkan terkesan rontok di tengah jalan.
Sejak ketua umum PAN diambil-alih Zulkifli Hasan, sikapnya berubah total. Walaupun Zulkifli menyatakan tetap berada di kubu KMP, Partai besutan Amien Rais ini tidak lagi berseberangan dengan pemerintah. Apalagi sejak salah seorang kadernya, yang juga mantan ketua umum PAN periode 2005-2010, Sutrisno Bachir mendapat jatah jabatan di Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN).
Tak lama kemudian Presiden PKS, Sohibul Iman, yang menggantikan Anis Matta, bersama para punggawanya sowan ke istana. Setelah bertemu Presiden Jokowi, PKS menegaskan, statusnya sebagai oposisi loyal, yakni mendukung program pemerintah yang baik, namun tidak keluar dari KMP.
Di minggu kedua Januari 2016 lalu, ketua umum partai Golkar versi Munas Bali, Aburizal Bakrie, menemui Presiden Jokowi. Sama halnya dengan elit PAN dan PKS, Ical pun menyatakan tetap berada dalam KMP, tapi sekarang pihaknya siap mendukung pemerintah.
Begitu juga halnya dengan PPP pimpinan Djan Faridz, dalam Rapimnas II di Bogor di ahir Januari lalu, memutuskan untuk mendukung Presiden Jokowi.
Dalam politik, ada adagium “tiada musuh atau teman yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan”. Jadi deklarasi di tugu Proklamasi itu, meskipun KMP dinyatakan sebagai koalisi yang sifatnya permanen, apa boleh buat, dalam kenyataannya dikalahkan oleh kepentingan masing-masing yang cenderung lebih diutamakan, demi eksistensi, dan ‘madu’ yang lebih menjanjikan.
Sepanjang sejarah, kita melihat PAN merupakan partai papan tengah. Belum sekalipun berada di posisi yang tinggi maupun sebagai juru kunci. Tapi elit mereka begitu luwes memainkan peran dengan nilai tawar yang tinggi. Amien Rais, sebagai ketua umum pertama PAN, mampu duduk sebagai ketua MPR. Banyak juga kadernya yang mampu menduduki posisi Menteri, meskipun presidennya berganti-ganti. Kecuali dalam kabinet Kerja Presiden Jokowi saat ini. Akan tetapi menurut desas-desus yang berkembang belakangan ini, konon dalam reshufle jilid dua nanti bakal ada kader PAN yang diangkat jadi menteri.
Sama halnya dengan PKS, atawa juga PPP. Demi sebuah kekuasaan, mereka piawai dalam peran sandiwara sebagai tokoh bermuka dua. Teriak-teriak sekeras-kerasnya, mengkritisi suatu kebijakan pemerintah misalnya, lalu setelah mendapat ‘jatah’, maka mereka pun akan diam seibu bahasa. Bahkan merasa sebagai pendukung yang paling setia. Apa boleh buat. Kue kekuasaan mampu membutakan memang.
Sementara partai Golkar versi munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie, selain menunjukkan sebagai sikap politik oportunis , juga kemungkinan besar ada udang di balik batu dalam pernyataannya itu.
Bisa jadi karena legalitas kubu mereka belum mendapat pengesahan dari pemerintah, jurus dukung-mendukung pun menjadi pilihan. Apalagi mereka merasa tak biasa berada dalam posisi sebagai oposan. Karena sejak dilahirkan mereka selalu dibuai dalam singgasana kekuasaan.