Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pezina yang Harus Diusir

18 Februari 2014   02:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Usir! Usir! Pezina tidak ada tempat di kampung kita !!!” teriak saling bersahutan  serombongan orang, kebanyakan kaum pria, sambil bergegas mendekati sebuah rumah di ujung gang.

Mereka semakin beringas  saat mendekati sasaran. Salah seorang lelaki bertubuh tegap, yang bisa saja sebagai yang dituakan dalam rombongan itu, atau mungkin juga sebagai orang yang paling bernyali di antara mereka langsung melangkah ke depan.

“Hooiii... pezina, keluar kau! Atau kami bakar rumahmu !?” teriak lelaki itu sambil menggedor-gedor daun pintu yang tertutup rapat.

“Bakar saja !!!”teriak seseorang mendukung ancaman lelaki itu.

“Wah, kalau dibakar bisa berbahaya dong. Bisa-bisa nanti apinya merembet ke rumah yang lain,” seseorang yang lain berbisik kepada lelaki yang sedang menggedor-gedor daun pintu itu.

Sesaat suasana pun menjadi hening.

Tak lama berselang terdengar suara perempuan muda dari dalam rumah.

“Bapak-bapak, apa hak Anda mengusir saya dari rumah saya sendiri ? Kalau toh pekerjaan saya sebagai pelacur telah mengganggu ketentaraman wilayah kita ini, mengapa juga saat saya sekeluarga kelaparan, tak seorang pun mau memberi pertolongan ? Lalu ketika kehidupan saya tidak miskin lagi, mengapa tiba-tiba Anda mau mengusir kami ?”

“Tapi profesi pelacur itu hina. Dan haram hukumnya. Kami tidak ingin ada pelacur di lingkungan kami ini,” teriak lelaki bertubuh tegap itu.

“Oke saya berhenti menjadi pelacur. Tetapi apakah bapak-bapak semua mau menjamin kebutuhan kehidupan kami sekeluarga ? Bukankah dulu pun, saat kami kelaparan, tak seorang pun mengulurkan bantuan ? Lagi pula bukankah Anda juga kemarin malam pernah mencicipi kehangatan tubuh saya ?” sahut perempuan dari dalam rumah.

Lelaki tegap itu terdiam. Mukanya tampak memerah. Demikian juga yang lainnya. Mereka hanya saling berpandangan.  Ada yang menggeleng-gelengkan kepala. Dan beberapa saat kemudian, satu-persatu rombongan itu angkat kaki. Meninggalkan rumah itu. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun