Dalam khazanah budaya Sunda, akan ditemukan sebuah nyanyian anak-anak ketika turun hujan:
Trang-trang kolentrang…
Si londok paeh nundutan …
tikusruk kana durukan…
Mesat gobang kabuyutan… dst…
(terjemahan bebas: berharap cuaca kembali terang, si bunglon mati ketika dalam keadaan ngantuk, karena terjatuh di api unggun… pedang peninggalan leluhurpun kemudian dicabut…).
Ketika musim hujan, di perkampungan, dengan telanjang bulat, anak-anak kecil bermain hujan-hujanan, berlari-larian, seraya melagukan kakawihan itu.
Dan mereka tahu. Bunglon adalah binatang reptilia. Banyak berkeliaran di pepohonan. Di kebun, hutan, dan di perkampungan. Bunglon mampu mempertahankan diri dari ancaman musuh , dengan cara mengubah warna tubuhnya.
Lain lagi ceritanya sekarang. Bunglon tidak hanya berkeliaran di kebun, hutan, dan perkampungan. Kita sekarang banyak menemukan bunglon berkeliaran di gedung dewan, di kota metropolitan. Berdasi, dan berpakaian lengkap. Bicaranya lantang, seakan tanpa beban. Sekaligus mengatas-namakan dirinya sebagai wakil rakyat.
Inilah masalahnya. Sebelum terpilih, mereka berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan entah dari kantong sendiri, entah mengambil dari kas negara, bak dermawan berhati murah, uangpun dibagi-bagikannya pada setiap rakyat yang didatanginya, baik rakyat yang berada di kota, pun rakyat yang berada di lereng gunung. Rakyatpun seketika terpesona. Alangkah hebatnya calon wakil kita ini…
Tatkala terpilih, yang semula begitu rajin bertandang pada rakyat, ternyata berubah seratus delapan puluh derajat. Orang yang mengatas-namakan sebagai wakil rakyat itu bukannya membuat rakyat sejahtera, ini justru membuat rakyatnya tambah sengsara. Mereka malah asyik  larut dengan dirinya sendiri.
Para wakil rakyat itu sibuk mulai dari urusan gedung yang dianggapnya kurang megah, sampai kloset di wc yang mungkin tidak membikin dirinya pede (Percaya diri). Kalu urusan memperkaya diri, jangan ditanya lagi. Munculnya istilah mafia anggaran, itu dari mana lagi kalau bukan dari habitat mereka sendiri. Tak pelak kalau sebagian besar anggota dewan disebut orang sering terkena penyakit aji mumpung. Sehingga kalau sudah bicara masalah yang satu ini, jangan terlalu banyak tanya lagi. Urusan uang bikin orang lupa daratan…
Bahkan dengan sesamanya pun mereka tidak tampak kompak. Terbukti justru saling sikut, saling menjatuhkan. Sehingga merekapun berhak dinamakan bunglon. Untuk membela diri dari ancaman, mereka, para anggota dewan, terpaksa mengorbankan teman, apalagi yang sejak semula dianggapnya sebagai saingan.
Bisa jadi mereka termakan janjinya sendiri. Ketika sedang rapat paripurna saja, mereka malah nundutan (tidur terkantuk-katuk). Sehingga ahirnya tigebrus kana durukan (Terjerambab ke dalam bara api unggun).  Kasus-kasus yang sekarang ramai dibicarakan, tak lepas dari perilaku anggota bunglon… eh, dewan!
Sebagai rakyat, apa perlu kita mesat gobang kabuyutan? Supaya cuaca kembali terang-benderang? Trang-trang kolentrang….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H