Tak ayal lagi setelah Surat Edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech diterbitkan, maka pro dan kontra pun bermunculan.
Bagi yang kontra terhadap surat edaran itu pun karena menganggap bertentangan dengan prinsip berekspresi, kebebasan berpendapat, beropini, baik pikiran, maupun yang sudah diatur di dalam berbagai instrumen HAM. Malahan di negara modern, siapa saja bisa berkomunikasi melalui teknologi informasi (IT) termasuk media sosial. Sepanjang tidak menyerang hal yang bersifat pribadi, itu normal saja, untuk mendewasakan diri.
Sementara yang setuju dengan surat edaran dengan Nomor SE/06/X/2015 yang ditandatangani Jenderal (Pol) Badrodin Haiti tersebut, karena setidaknya dapat melindungi hak asasi manusia seseorang agar tidak dilecehkan atau difitnah. Bahkan lebih dari itu, bisa jadi dengan adanya surat edaran ini, bisa jadi dapat menekan potensi konflik sosial, tindak diskriminasi, dan kekerasan di tengah masyarakat yang majemuk di negeri ini yang selama ini kerap terjadi.
Terlebih lagi dengan berkembangnya teknologi informasi, maka warga pengguna internet (netizen) l sepertinya bakal mendapat perhatian ekstra dari pihak terkait, karena  sebagaimana diketahui, di media sosial setiap orang tak memiliki batasan dalam mengunggah sesuatu atau memberikan komentar terhadap suatu peristiwa. Dan seperti yang telah acapkali terjadi, munculnya suatu konflik sosial, atawa tindak kekerasan, tak jarang dipicu dengan oleh adanya kata-kata, atawa gambar yang dipublikasikan di jejaring sosial.
Bahkan jika dicermati, munculnya ujaran kebencian atawa hate speech itu sepertinya tidak hanya di media sosial saja, namun media mainstream pun memiliki andil juga. Dalam hal ini adalah media online yang menyediakan fitur layanan komentar terhadap suatu berita yang ditayangkannya.
Kita tentu masih ingat ketika menjelang Pilpres setahun lalu. Berita yang memuat pernyataan tokoh partai politik dari dua kubu yang bersaing ketika itu  begitu mendominasi  media. Statemen para politisi tersebut ihwal rivalnya tampaknya sudah bukan lagi mengkritisi program yang ditawarkan pesaingnya misalnya, tetapi cenderung menjurus ke arah penghinaan, penistaan, maupun pencemaran nama baik. Dan sudah tentu pernyataan yang keluar dari tokoh politik seperti itu memancing emosi masyarakat pendukung rival yang dikritisinya itu.
Ya, kita ambil contoh seorang politisi yang mengatakan bahwa capres rival jagoannya sebagai CAPRES BONEKA, maka tak syak lagi para pendukungnya Capres yang diserang pun balik menghujat politisi berikut Capresnya itu dengan ungkapan yang lebih pedas lagi. Bahkan tidak sampai saat Pilpres saja munculnya statemen politisi yang memicu meruncingnya pertentangan kedua kubu Capres itu. Hingga Capresnya dinyatakan kalah oleh KPU dan Mahkamah Konstitusipun ternyata sikap yang dipertontonkan para politisi pendukungnya justru semakin menjadi-jadi.
Yang menjadi pertanyaan, apakah statemen para politisi yang bukan lagi mengkritisi, tetapi lebih menjurus pada menghina, dan menista seperti itu, sehingga memicu munculnya perang kata-kata kasar di media , bahkan sampai ada yang mengatakan kalau mulut politisi seperti itu berbau busuk, sudah termasuk yang dikategorikan dalam surat edaran itu, atawa tidak ?
Bagaimanapun jika membaca berita berupa pernyataan politisi seperti itu, selain mengundang banyak komentar vulgar dan kontroversial dari komentator, paling tidak bagi masyarakat yang masih menjunjung tinggi moral dan etika, sikap yang dipertontonkan politisi seperti itu memberikan dampak buruk bagi masa depan bangsa ini, yang sekarang ini pun sebenarnya sudah semakin jauh dari harapan. **** Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H