Ngomong-ngomong soal minuman keras, jadi ingat lagunya Si Raja Dangdut Rhoma Irama yang berjudul Mirasantika:
....”Dulu aku suka padamu dulu aku memang suka
(Ya-ya-ya)
Dulu aku gila padamu dulu aku memang gila
(Ya-ya-ya)
Sebelum aku tahu kau dapat merusakkan jiwaku (o-o, o-o)
Sebelum aku tahu kau dapat menghancurkan hidupku
Sekarang tak-tak-tak-tak
‘Ku tak mau tak mau tak-tak-tak-tak-tak
‘Ku tak mau tak mau tak (‘ku tak mau tak)
Sekarang tak-tak-tak-tak
‘Ku tak sudi tak sudi tak-tak-tak-tak-tak
‘Ku tak sudi tak sudi tak (‘ku tak sudi tak)"...
Terus terang sejak lama saya memang termasuk salah satu penyuka lagu-lagunya Bang Haji yang satu ini. Dan lagu itu melukiskan seorang peminum minuman keras plus narkoba yang merasakan akibat dari kedua barang laknat itu, sehingga yang bersangkutan pun menjadi jera dibuatnya. Untung saja...
Tapi terlepas dari itu, minuman keras selain merusak kesehatan, terkadang jiwa pun bisa rusak juga karenanya memang. Bahkan tak jarang bila berlebihan, tak menutup kemungkinan sampai nyawapun menghilang. Sebagaimana yang terjadi belakangan ini, dikabarkan di berbagai daerah berikut di Ibukota Jakarta, akibat menenggak minuman keras oplosan, korbanpun berjatuhan, puluhan orang mati sia-sia karenanya. Benar, mendengarnya pun sangat memprihatinkan memang.
Nah, apa pula miras oplosan itu ? Konon minuman keras oplosan adalah minuman keras asli, seperti ciu, brem, tuak, arak (minuman keras tradisional), atau juga whisky, anggur obat, bir dan sejenisnya (minuman keras pabrikan), dengan cara-cara ilegal diracik kembali dengan campuran berbagai jenis bahan seperti misalnya obat batuk yang biasa beredar di pasaran, minuman suplemen penambah stamina, bahkan sampai ada pula yang mengoplosnya dengan BBM (bahan Bakar Minyak) jenis premium. Wah!
Memang benar yang dikatakan Bang Haji Rhoma Irama, minuman keras sama sekali tak ada gunanya – kecuali buat penghilang rasa nyeri, atau sekedar buat hepi-hepi. Bahkan sebenarnya pemerintah sendiri sudah mengantisipasinya dengan berbagai regulasi terkait masalah minuman keras tersebut. Misalnya saja dengan Kepres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Lalu Perpres No. 74 Tahun 2013. Ada juga Peraturan Menteri (Permen)dan Peraturan Daerah (Perda) di sejumlah daerah. Malahan para pembuat miras oplosan yang sampai banyak merenggut nyawa, bisa juga dijerat Pasal 204 dan 205 KUHP serta Pasal 197 juncto Pasal 106 ayat 1 UU Kesehatan. Ancaman pidana Pasal 204 KUHP penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun. Sedangkan ancaman Pasal 197 UU Kesehatan penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 1,5 miliar.
Akan tetapi meskipun seabrek undang-undang dan peraturan dibuat, dalam kenyataannya peredaran miras tampaknya kian marak saja, dan para produsen berikut konsumennya malahan tambah nekad saja. Dan korbanpun jatuh bergelimpangan.
Barangkali untuk mengantisipasi agar tidak lebih banyak lagi korban yang berjatuhan akibat minuman keras, baik yang asli maupun oplosan, sebaiknya pemerintah dituntut agar bertindak keras. Jangan setengah-setengah, karena misalnya tergiur oleh pajak yang anggkanya lumayan besar. Apalagi selama ini antara produsen dengan penegak hukum sendiri disinyalir ‘ada main’, kongkalingkong yang penting ada pemasukan. Sebaiknya mulai saat ini tidak akan terdengar lagi.
Demikian juga peran serta masyarakat untuk aktif mengawasi setiap kejanggalan yang terjadi di sekitar, adalah suatu keniscayaan apabila masih berharap hidup nyaman dengan adanya ketertiban dan keamanan.
Begitu kira-kira... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H