Momentum pemilihan selalu saja meningkatkan suhu yang menggelegak hingga ke titik puncak. Persaingan antar kandidat untuk berebut menjadi pemuncak, membuat sebagian orang bertepuk tangan dan bersorak, sementara sebagian lagi ada yang malah mengumpat – dan berucap: “Kurang ajar, keparat!!!”
Bisa jadi mereka yang yang bertepuk tangan, dan bersorak – juga berjingkrak, adalah pendukung kandidat yang sedang berorasi minta dukungan, tapi juga ditambah menyindir nyinyir pesaingnya, malahan tak jarang pula diselingi dengan kata-kata pedas bernada menghujat. Sedangkan bagi yang mengumpat, ditambah dengan cemoohan terhadap kandidat tersebut, adalah pendukung kandidat lain. Atau paling tidak adalah mereka yang bukan pendukung pesaingnya, tetapi merasa muak dengan sikap kandidat yang sama sekali tidak mencerminkan diri sebagai calon presiden yang akan memimpin 250 juta warga Indonesia.
Misalnya saja dengan salah satu capres yang diusung partai Gerindra, Letjen (Purn.) Prabowo Subianto. Sungguh. Di awal kehadirannya, saya termasuk orang meyakinkan diri untuk mendukung yang bersangkutan dalam pilpres mendatang. Bagaimanapun sebagai mantan petinggi TNI, dan terlepas dari rekam-jejak di masa lalunya yang terkait dengan isu penculikan para aktivis, saya percaya dengan sikap tegasnya. Demikian juga dengan program yang diusungnya, yakni yang (katanya) pro-rakyat.
Akan tetapi tatkala seorang Jokowi maju ke gelanggang pencalonan presiden mendatang, sikap saya pun berbalik seratus delapan puluh derajat. Saya bersumpah tidak akan mendukung Prabowo, maupun mencoblos partai Geridra pada saatnya kelak. Tidak.
Betapa tidak. Sikap Prabowo dan partainya yang habis-habisan menghujat PDIP dan Jokowi, telah membuat saya menjadi muak. Mulai darimengungkit Perjanjian Batu Tulis, yang bagi orang awam pun jadi tertawa terbahak-bahak, sampai menuding Megawati berikut jokowi dengan kata-kata yang yang tidak pantas diucapkan oleh seorang calon negarawan, adalah alasan saya untuk mengatakan tidak kiranya cukup kuat.
Sungguh. Sikap Prabowo dalam menyikapi jokowi yang jadi pesaingnya, sama sekali tidak mencerminkan pribadi yang tangguh dan kuat. Sebaliknya mental Prabowo tak lebih dari pengecut yang merasa kalah sebelum perang yang sesungguhnya. Apalagi jika dikaitkan dalam momentum saat ini, yakni pemilihan pemimpin 250 juta rakyat Indonesia. Bukan, bukan sikap mengejek, mengumpat, dan mencari-cari kesalahan pesaing. Melainkan sikap tegas yang proporsional, yaitu di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Juga sebagai calon presiden yang masih menjunjung tinggi norma dan etika sesuai budaya Indonesia, tentu saja.
Sungguh. Saya bukan (belum) pendukung Jokowi. Tetapi dengan sikap jokowi terhadap kritikan dan umpatan kandidat lain, termasuk mereka yang kontra, dihadapinya dengan kepala dingin saja, malahan sama sekali tidak mau melayaninya. Padahal Jokowi kata sebagian orang masih muda di dalam kancah politik, tetapi sikapnya itu mencerminkan pribadi yang ‘dewasa’, dan begitu menjunjung tinggi norma maupun etika. Mentalnya lumayan kuat dalam menghadapi sikap pesaing dan yang kontra terhadap dirinya.
Ya, bagaimana pun bangsa Indonesia saat ini dalam kondisi degradasi. Kalau boleh diibaratkan seperti anak ayam kehilangan induknya. Kekerasan di sana-sini seolah menjadi sikap dan perilaku sehari-hari. Obsesinya terkesan hanyalah kepada materi. Sementara sebagian kandidat pemimpinnya pun malahan terbawa arus semacam itu. Dengan kata lain, tidak fair sama sekali.
Padahal akan lebih elegan dan tampak sebagai calon negarawan, adalah dengan adu visi dan program yang mampu merebut hati rakyat yang dibarengi dengan sikap yang tak lepas dari norma, etika, maupun budaya Indonesia. Terutama Pancasila, tentu saja.
Kalau mengumpat dan menjelek-jelekan pesaingnya belaka, maka saya pun hanya mampu bertanya: Apa kata dunia ??? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H