Berita nyapresnya Gubernur DKI, Jokowi yang diusung PDIP tak pelak lagi menuai beragam reaksi dan komentar dari berbagai kalangan. Hanya saja sudah dipastikan, reaksi maupun komentar tersebut bermuara pada dua sisi yang berbeda, tentu saja, antara yang pro dan yang kontra.
Demikian juga ungkapan yang dilontarkannya – baik yang kontra atau yang pro, ada yang santun dan bijaksana, pun ada yang ceplas-ceplos alias asal bunyi, dan sepertinya sudah lepas kendali karena dibarengi emosi tinggi, sehingga lupa akan etika dan tatakrama, padahal mereka itu maunya disebut sebagai elit, atau tokoh bangsa Indonesia. Dalam hal ini sudah pasti menjadi konsumsi pemberitaan di media. Dan masyarakat tinggal menilainya saja.
Seperti komentar dari pegiat survey yang banyak disinyalir cari makan dari siapa yang jadi sponsor kegiatannya tersebut, begitu jelas kentara ngomongnya seakan tidak lagi dibarengi oleh argumentasi maupun fakta yang jelas. Misalnya saja yang dilontarkan peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting, Sirojuddin Abbas. Jokowi itu dikarbit oleh media, ungkapnya, media kerap mengemas Jokowi sebagai sebagai tokoh yang populis, dekat dengan rakyat miskin, tetapi sebagai politisi yang di sini juga terkait dengan pemain lain, aspek negatifnya seolah-olah ditutupi.
Ungkapan seperti itu kalau boleh kita tanyakan kepada yang bersangkutan, apa dasarnya Jokowi dikarbit oleh media ? Apakah Jokowi yang meminta media untuk memblow up dirinya, atau memang media yang mengejar-ngejar Jokowi karena kinerjanya yang berpihak kepada rakyat dan diakui oleh khalayak ?
Bahkan kalau disimak lebih dalam lagi, tukang survey itu terkesan sudah melecehkan media. Bukankah media/pers merupakan pilar demokrasi yang keempat ? Sementara kalau ungkapan Sirojuddin Abbas itu kalau diterjemahkan secara bebas, artinya media sudah melacurkan dirinya kepada Jokowi.
Demikian juga halnya dengan statemen seorang Amin Rais yang kata orang merupakan salah satu tokoh reformasi itu. Demikian naif membaca ungkapannya yang ditulis media. “Kata orang jokowi akan hebat, buat saya tidak. Maaf,” katanya. Sinis sekali, bukan? Dan terkesan bukan diungkapkan oleh seorang elit saja. Malahan boleh dikata seperti ucapan seorang preman pasar belaka.
Apalagi dengan komentar seorang Ridwan Saidi, yang dulu ditasbihkan sebagai budayawan Betawi. Sudah bicaranya ceplas-ceplos, asal bunyi lagi kesannya. Ya, orangtua yang satu ini bolehlah kita anggap sebagai objek pelengkap penderita saja.
Barangkali yang begitu arif bijaksana dalam mengomentari nyapresnya Jokowi, bisa jadi hanya saat menyimak ungkapan mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Sungguh, hanya sosok yang satu ini saja kiranya yang patut disebut sebagai negarawan sejati, tokoh bangsa yang masih berpegang teguh pada etika, dan wajib kiranya dijadikan panutan.
Bagaimana pun rakyat memang hanya bisa menilai dengan melihat dan mendengar pernyataan elit-elit di negeri ini. apalagi di saat tibanya tahun politik seperti sekarang ini. Siapa yang banyak bicaranya sampai berbusa-busa, tapi kerja nyatanya sama sekali tidak ada, dan mana yang bicaranya masih arif bijaksana, beretika, dan kerjanya sudah dapat dirasakan oleh rakyat banyak.
Dan pilihan pun terserah Anda, tentu saja., mau yang asbun atawa mereka yang merakyat dan arif bijaksana ? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H