Almarhum ayah saya semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Kepala Desa di kampung kami selama enam belas tahun. Terhitung dua periode, sebagaimana peraturan perundang-undangan saat itu.
Menurut cerita ayah ketika saya duduk di bangku SMP ketika itu, pas seminggu setelah saya dilahirkan, desa kami menyelenggarakan pilkades (pemilihan kepala desa). Saat itu calon kepala desa yang mengikuti perebutan kursi kepala desa sebanyak sembilan orang. Termasuk ayah saya yang kemudian tampil sebagai peraih suara terbanyak.
Sejak lahir hingga tumbuh remaja, hidup sebagai anak seorang kepala desa, bagi saya terasa begitu tersiksanya. Karena dibandingkan sukanya, ternyata lebih banyak dukanya. Betapa tidak, kebebasan sebagai seorang anak yang ingin tumbuh sebagaimana anak-anak yang lainnyadi kampung kami, tidaklah saya dapatkan. Kedua orang tua saya sepertinya telah membuat peraturan khusus untuk saya agar tidak bertindak sesuka hati. Sejak kecil saya diwajibkan untuk menghormati orang yang lebih tua usianya dalam bersikap maupun bertutur kata. Jangan sombong, dan harus welas-asih kepada sesama. Pokoknya sebagai anak seorang kepala desa saya harus memberi teladan yang baik untuk teman sebaya.
“Keluarga kita menjadi pusat warga desa kita, kalau kita berbuat macam-macam, yang rusak nama baik keluarga kita juga.” Begitu kira-kira penjelasan orang tua saya saat itu.
Saat tumbuh remaja, saya menjadi tahu. Alangkah repotnya ayah saya di dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin desa kami. Karena selain harus melaksanakan program pembangunan yang telahdicanangkan, ternyata ayahpun banyak menghadapi warga desa yang bersikap kontra. Bahkan berusaha untuk menggulingkannya dari kursi kepala desa.
Berbagai cara dilakukan oleh mereka yang memusuhi ayah untuk menggulingkannya. Mulai dari memata-matai segala kegiatan ayah, dan jika ada yang dianggapnya melanggar peraturan, mereka langsung melaporkannya kepada Camat, sampai membuat plakat corat-coret di dinding kantor desa yang sifatnya menghujat, mengintimidasi, dan menyuruh ayah untuk mundur dari jabatannya, sampai menggunakan cara-cara berbau mistis, atau klenik, dapat saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Bahkan di kemudian hari saya mendengar pengakuan dari orang yang melakukannya.
Namun hal itu tidak membuat ayah bergeming. Selain di belakang ayah mendapat dukungan warga yang jumlahnya lebih banyak dari mereka yang kontra, juga karena memang ayah tidak pernah terbukti melanggar peraturan yang berlaku. Terbukti setelah enam belas tahun menjabat, ayah berhenti dengan hormat. Sesuai surat keputusan dari Bupati.
Akan halnya orang yang yang memusuhi ayah saat itu, ternyata adalah para pesaingnya saat pilkades dahulu. Kemungkinan besar mereka masih penasaran dengan kekalahannya. Tapi anehnya setelah ayah lengser dari jabatan kepala desa, dan tak lama kemudian digelar pilkades kembali, beberapa di antarany pesaing ayah dahulu yang kemudian ikut mencalonkan kembali sebagai kepala desa, ternyata tak seorangpun yang meraih kemenangan.
Setelah ayah meninggal dunia, dalam pergaulan di tengah warga saya lakoni sebagaimana biasanya. Wajar-wajar saja. Malahan dengan orang-orang yang pernah memusuhi ayah pun saya tidak canggung untuk bergaul. Toh mereka bersikap kontra kepada ayah, karena dalam kapasitas sebagai kepala desa. Terbukti ketika ayah meninggal dunia, orang yang memusuhinya tampak datang melayat, malahan ada di antaranya yang ikut menggotong keranda mayat.
Yang seringkali membuat saya geli, dan aneh sendiri, adalah sewaktu mereka membanding-bandingkan antara kepala desa yang saat ini menjabat dengan almarhum ayah saya dahulu. Mereka menganggap lebih baik dan lebih enak saat desa kami dipimpin oleh ayah saya. Malahan tak sedikit dari mereka yang meminta saya untuk maju sebagai calon dalam pilkades.
Malahan ketika suatu saat saya menengok salah seorang di antara yang pernah memusuhi ayah karena yang bersangkutan menderita sakit keras, dengan terus terang mengakui , dirinya telah berbuat jahat kepada ayah saya semasa hidup, bahkan sampai menyantetnya pula. Dan sebelum dirinya mati, dia meminta dimaafkan atas segala perbuatannya itu.
Ya, aneh memang sikap manusia di dunia ini. Khususnya bangsa Indonesia ini. Saya jadi teringat dengan presiden Indonesia pertama, Bung Karno. Setelah disanjung dan dipuja, menjelang ahirnya beliau dihina dan dinista. Tetapi setelah wafat, kembali disanjung dan dipuji-puji. Malahan salah seorang putrinya, Megawati, pernah juga menjadi penerusnya memimpin negeri ini. Tidak jauh berbeda dengan Pak Harto, presiden RI ke-2.Menjelang ahir kepemimpinannya beliau pun hampir sama dengan Bung Karno. Tapi beberapa tahun setelah beliau meninggal dunia, banyak orang yang mengenang keberhasilannya dalam memimpin negeri ini. Sehingga muncul ungkapan “Enakan jamanku ya ?”
Akankah SBY pun mengalami hal yang sama kelak setelah lengser, dan setelah beliau meninggal dunia ?
Wallahu ‘alam. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H