Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kaum Urban Merayakan Malam Tahun Baru

31 Desember 2015   22:40 Diperbarui: 31 Desember 2015   23:20 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: antaranews.com"][/caption]Dari kejauhan terdengar bunyi petasan dan kembang api bersahutan.  Belakangan ini memang setiap tibanya tahun baru suasana di kampung sudah tidak jauh bedanya lagi dengan di kota. Selalu ditandandai dengan menyalakan kembang api dan petasan. Sementara yang membedakannya barangkali pada kadar dan tingkat kemeriahannya.

Kalau di kota, terutama kota-kota besar, sebagaimana yang selalu disiarkan langsung oleh stasiun televisi, suasananya penuh dengan hingar-bingar pertunjukan musik hidup, dan berbagai keseniannya lainnya di panggung-panggung yang disediakan hampir di setiap sudut kota. Hotel dan restoran pun dipenuhi pengujung. Sedangkan di kampung, ya paling hanya meniup terompet yang dibeli anak-anak dari pedagang keliling dadakan, ditambah dengan menyalakan kembang api dan petasan. Adapun pelengkapnya adalah membunyikan musik dari dvd player, ditambah kongkow-kongkow dengan sesamanya.  Tidak hanya anak-anak saja yang melakukannya, orang dewasa pun ada juga yang ikut serta. Hususnya mereka, para urban, yaitu para pekerja kantoran, pedagang, atawa buruh pabrik yang sengaja pulang mudik.

Di kampung kami, yang namanya pekerja kantoran di kota-kota besar, jangan terlalu jauh berpikir mereka sebagai kepala bagian, atawa manajer, apalagi seorang CEO. Sebab tingkat pendidikan mereka yang hanya berijasah SMA, kebanyakan dari mereka paling banter ya sebagai office boy. Hanya saja bagi orang tua, atawa para gadis yang menjadi pacarnya, tak sedikit yang merasa takjub dan bangga juga punya anak, dan seorang pacar yang bekerja dengan sebutan dalam bahasa Inggris itu. karena bisa jadi ketika menerjemahkan kata itu ada sedikit kekeliruan. Mungkin disangkanya office boy itu sebagai anak lelaki kesayangan pemilik kantor.

Demikian juga halnya dengan mereka yang katanya mengaku sebagai pedagang, bukanlah pedagang kelas eksportir dan importir, juga bukan pedagang grosir di Glodok sana. Bahkan bukan juga kelas pedagang golongan UMKM. Sama sekali bukan. Rata-rata yang namanya pedagang di kota besar, dan berasal dari kampung kami, adalah mereka biasa menjajakan barang dagangannya dari pintu ke pintu dengan mendorong gerobak sambil berteriak “Yur... Sayuuur...”, atawa “Nyak... Minyaaak”, pokoknya mereka adalah pedagang yang berhubungan langsung dengan ibu-ibu, baik nyonya maupun asisten rumah tangga yang biasanya malas pergi ke pasar untuk kebutuhan dapurnya. Dan para pedagang itu tidak banyak mengeluarkan uang untuk modal dagangnya, cukup memiliki kemampuan bertransaksi langsung dengan pembeli, ditambah kepercayaan dari juragan pemilik barang dagangan yang hendak dijajakan, maka sebutan sebagai pedagang pun melekat di dirinya. Apalagi jika mereka mampu bertahan selama tiga sampai enam bulan tidak pulang, maka sekalinya pulang, adalah suatu kebanggaan keluarga karena selain membawa banyak oleh-oleh, uang hasil berdagang yang ditabung selama ia sekian bulan dianggap lumayan besar.

Sedangkan para buruh pabrik, maaf, mereka sepertinya enggan disebut begitu, dan lebih percaya diri jika mendapat sebutan karyawan/karyawati pabrik.  Rata-rata mereka hanya menjadi buruh dengan statuyang sekarang dikenal dengan sebutan buruh outsourching, alias pekerja kontrak saja. Dan rata-rata hanya sampai setahun bekerja, lalu kalau habis kontraknya, kalau tak bisa diperpanjang lagi, apalagi kalau kembali berstatus sebagai penganguran lagi.

Tetapi meskipun demikian, para urban itu kalau sekalinya mudik menjelang hari raya lebaran, atawa tahun baru seperti sekarang ini, bisa jadi uang hasil jerih-payahnya di kota sekian lama seakan-akan dihabiskan semuanya untuk kegiatan menyambut hari-hari besar itu. Selain untuk membayar cicilan sepeda motor yang biasanya berlangsung selama 36 bulan, dan yang pasti sepeda motor itu dibawa pulang mudik untuk dipamerkan pada para tetangga sebagai bentuk keberhasilan, isi rumah yang belum ada pun, seperti pesawat televisi, kulkas, kipas angin, termasuk handphone untuk dirinya, istrinya, juga anak-anaknya, dengan alasan supaya mudah berkomunikasi, juga pakaian baru yang modenya sedang nge-trend, berikut perhiasan mas untuk istrinya, kalau uang yang dibawanya mencukupi, sudah pasti dibelinya.

Sementara husus untuk menyambut tahun baru, atawa hari raya lainnya, maka pengeluaran pun akan semakin membengkak. Untuk hidangan para tetangga yang datang, maka makanan dan minuman, termasuk berbagai merk rokok pun sudah pasti tersedia. Dan untuk lebih memeriahkan suasana, petasan dan kembang api tak lupa dibawanya juga dari kota.

Lalu bila hari liburan sudah habis, dan mereka dituntut untuk kembali ke kota untuk melakukan aktivitasnya, maka jangan heran jika untuk biaya perjalanan, ongkos bus bagi yang naik bus AKAP, atawa untuk membeli bensin bagi yang mengendarai sepeda motor, biasanya perhiasan emas milik istrinya pun dijual kembali pada  toko emas tempat dibelinya tempo hari.

Paling tidak, kalau masih ada barang berharga lainnya, biasanya dititipkan, alias digadaikan pada tetangga yang biasa memberi bantuan untuk itu. Tetangga yang memiliki harta berlimpah, tentu saja. Juga bukannya memberi pinjaman dengan percuma, tetapi harus ditambah dengan bunga yang melebihi batas wajar sebagaimana biasanya.

Begitulah. Dan begitu terus seperti siklus yang terjadi saban tahun.  Demikian juga keadaannya pun tidak ada peningkatan yang sesungguhnya. Karena perilaku besar pasak dari pada tiang, ditambah budaya konsumtif yang semakin hari semakin menghimpit,  sedangkan lapangan kehidupan dirasa semakin sempit, apa boleh buat... ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun