Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kedaulatan Negara yang Digadaikan

15 Oktober 2015   19:58 Diperbarui: 15 Oktober 2015   19:58 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana Bela Negara mengemuka, dan langsung menjadi program usulan Kementerian Pertahanan. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu memasang target 100 juta warga untuk dijadikan kader Bela Negara dalam tempo sepuluh tahun ke depan. Adapun yang menjadi alasan dari program tersebut, karena pihak Kemenhan menilai belakangan ini wawasan kebangsaan dianggap sudah luntur.

Adapun yang dimaksud wawasan kebangsaan,  Menurut Prof. Muladi, politisi  partai Golkar, saat beliau menjabat Gubernur Lemhanas, yaitu cara pandang bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional yang mencakup perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai kesatuan politik, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan. sebagai konsepsi cara pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan diri dan lingkungannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bisa jadi pasca-reformasi gejala melunturnya wawasan kebangsaan ini mulai nampak. Munculnya gerakan separatis, terorisme yang mengatasnamakan suatu agama, organisasi massa yang cenderung mengarah pada radikalisme, ditambah sikap elit yang lebih mementingkan diri sendiri dan golongannya daripada keutuhan negara kesatuan indonesia yang benar-benar berdaulat.

Mengapa dikatakan demikian, sebab saat era Orde Baru meskipun  di satu sisi penguasa bersikap represif terhadap munculnya gejolak di masyarakat yang diduga akan mengganggu kamtibmas, atawa lebih spesifiknya akan merusak berlangsungnya pemerintahan di bawah Soeharto, akan tetapi di sisi lain upaya penguasa di dalam menanamkan wawasan kebangsaan, yaitu dengan program Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pangamalan Pancasila).  Meskipun programitu dirasakan rakyat akar rumput baru sebatas pengenalan, namun paling tidak pemahaman selintas terhadap wawasan kebangsaan yang terangkum di dalam dasar negara tersebut dapat  diaktualisasikan di dalam kehidupan.

Ironis memang. Namun lebih ironis lagi dengan kondisi sekarang ini. Reformasi yang bermakna perubahan secara drastis untuk perbaikan – sekali lagi: perbaikan di bidang sosial, politik, di dalam kenyataannya yang terjadi malahan justru sebaliknya. Bukannya menuju perbaikan, baik di dalam tatanan kehidupan rakyat, maupun di dalam  tatanan pemerintahan, bila dicermati seakan tidak ada kejelasan.  Dan sepertinya boro-boro menuju masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana diamanatkan UUD ’45,  yang terjadi malahan, kalau boleh disebutkan, negara Indonesia ini seakan menuju kehancuran. Pemahaman wawasan kebangsaan jangankan diajarkan pada masyarakat luas, di sekolahpun sepertinya ruang geraknya konon malah dipersempit. Dan yang terjadi rakyat melihat saban hari dan setiap saat para elit bukannya melakukan sesuatu bagi upaya menunaikan cita-cita luhur tadi, yang ada malah ibarat sekumpulan anjing-anjing kelaparan yang berebut tulang.

Betapa tidak, salah satu contoh nyata yang ada di depan mata kita, masalah kekayaan perut bumi negeri ini saja, sebuah perusahaan raksasa dari Amrik sana, Freeport yang mengeksploitasi  bumi Papua sejak tahun 1967 lalu, dan rencananya kalau jadi diperpanjang kontraknya sampai 2041, adalah suatu hal yang kerapkali menjadi dalih pemicu munculnya gerakan separatis di tanah Papua. Hal itu disebabkan karena suka maupun tidak, kekayaan perut bumi di sana dikuras habis dan dibawa ke Amrik sana. Sementara penduduk Papua sendiri hingga sekarang ini bila dibandingkan dengan yang hidup di provinsi lain jauh tertinggal sekali. Ironis memang. Apa boleh buat, pemerintah pun dibikin repot oleh munculnya gerakan separatis yang bisa jadi dipicu karena kesenjangan itu.

Lalu pemerintah pun selama ini untuk memadamkannya selalu saja bersikap represif. Kekerasan dilawan dengan kekerasan pula. Bahkan hingga kini Freeport sendiri memanfaatkan TNI dan Polri untuk menjadi satuan pengamanan perusahaan itu. Sehingga di dalam kasus Freport saja, negara ini sepertinya sudah digadaikan, maka mana bisa rakyat menjadi kader bela negara bila elit-elitnya sendiri terkesan malah mencabik-cabik kedaulatan bangsa dan negaranya.

Inilah masalahnya.

Maka sepertinya program bela negara yang dicanangkan Kementerian Pertahanan itu akan lebih membumi apabila prioritas pertama pelatihannya ditujukan untuk para elit – sebagaimana pernah diusulkan seorang pengamat politik, baik eksekutif, legislatif, maupun penegak hukum, dan TNI sendiri. Karena itu tadi, jangankan di tengah akar rumput, para elit pun tampaknya sudah luntur pula wawasan kebangsaannya, bahkan bisa jadi jauh dari yang diduga. 

Nah, jika para elit sudah digodok lagi wawasan kebangsaannya, urusan rakyat adalah suatu yang mudah untuk melaksanakannya. Bukankah ada pepatah: Ekor ular akan mengikuti kemana kepala merayap ? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun