Heran memang, entah apa sebabnya,pada saat  jajaran TNI AL yang mendapat instruksi Panglima Tertinggi untuk menenggelamkan kapal asing pencuri ikan, terkesan kurang meresponnya.  Setelah disindir dan sampai tiga kali diingatkan, perintah tersebut baru dilaksanakan.
Padahal setiap tahunnya ada 5.000 – 6.000 kapal di perairan Indonesia, dan sebanyak 9 persen di antaranya adalah kapal-kapal ilegal. Sehingga kerugiannya mencapai Rp 300 triliun setiap tahun akibat praktik illegal fishing, sebagaimana yang pernah dianalisa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Memang pihak TNI AL sendiri sudah mengklarifikasi permasalahan tadi. Melalui Panglima Armada Barat, Mayor Jenderal TNI Widodo yang menjadi eksekutor dalam proses penenggelaman kapal itu berdalih, bahwa TNI AL masih menunggu proses hukum terhadap kapal-kapal yang disita itu memiliki kekuatan hukum tetap.
Bahkan Menko Polhukam, Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan, Badan Keamanan Laut (Bakamla) tidak dapat seenaknya menenggelamkan kapal asing yang dianggap ilegal. Sebab, ada prosedur penindakan hukum yang berlaku di laut dan disepakati oleh dunia internasional.
Secara kasat mata, hubungan antara Panglima Tertinggi dengan prajuritnya, dan antara seorang Presiden dengan menterinya, terkesan tidak ada keharmonisan.
Apalagi bila memperhatikan pernyataan seorang Menteri di atas, sepertinya memberi kesan ada benang yang putus antara Presiden dengan pembantunya itu. Terutama kalau dilihat dari sudut pandang etika. Di dalamnya ada miskomunikasi. Tedjo seolah telah membantah titah majikan. Malahan seakan telah mempermalukannya di depan banyak orang. Padahal seharusnya Tedjo sebelumnya mengadakan konsultasi terlebih dahulu dengan Presiden.
Jangan-jangan Tedjo sedang menusuk dalam lipatan, atau sama sekali tidak mampu menerjemahkan kinerja Jokowi yang serba cepat dan tegas ?
Entahlah. Yang jelas sejak awal Jokowi memiliki obsesi untuk membangun poros maritim. Bisa jadi dia terinspirasi dari kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tempo dulu. Ditambah lagi dengan fakta yang ada saat ini. Ternyata dari kekayaan laut  Indonesia telah merugi Rp 300 triliun saban tahunnya. Karena dicuri oleh nelayan-nelayan asing. Sehingga kedaulatan pun harus ditegakkan.
Hanya saja ternyata masih saja kurang mendapat dukungan. TNI sepertinya masih ogah-ogahan, menteri terkait pun malah memberikan bantahan. Belum lagi pihak Polri yang tidak terdengar sikapnya sama sekali terkait masalah pemberantasan illegal fishing ini. Seolah tidak ada koordinasi yang pasti. Sehingga jangan-jangan kerugian ratusan triliunan rupiahpun akan terus berkepanjangan, dan jumlahnya akan semakin membesar - tentu saja.
Indikasi tidak solid itu semakin nampak terlihat dari rencana penangkapan 13 kapal berbendera Cina. Lewat Automatic Identification System, Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti memergoki keberadaan kapal asing pencuri ikan itu di Laut Arafuru. Ia pun mengaku telah meminta Presiden Jokowi memerintahkan TNI Angkatan Laut untuk menangkapnya.
Hasilnya? Tak satu pun kapal yang ditangkap. Seorang petinggi Angkatan Laut mengatakan tak ada perintah untuk menangkap kapal-kapal itu. Ia malah berujar kabar soal keberadaan kapal tersebut seharusnya tidak disampaikan ke pers. Kejadian seperti ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, Menteri Susi juga mengumumkan adanya 22 kapal asing di perairan yang sama. TNI Angkatan Laut baru mengejar keesokan harinya dan hanya mampu menangkap 9 kapal.
Nah, petinggi TNI AL yang pertama dan Menteri Tedjo mengatakan seolah tidak ada payung hukumnya, kemudian petinggi TNI AL tadi bilang tidak ada perintah untuk menangkap kapal-kapal tersebut. Apakah instruksi Presiden sebelumnya bukan perintah, dan apakah UU nomor 45 Tahun 2009 bukan payung hukum untuk melaksanakan eksekusi tersebut ?
Maap, Presiden Jokowi itu Panglima Tertinggi TNI, Jenderal. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H