Harapan untuk melihat kabinet yang sesuai slogan Indonesia Hebat – sebagaimana yang jadi trade mark Jokowi selama ini, sepertinya jauh panggang dari api. Bersih – dalam arti bebas dari indikasi korupsi dan pelanggaran hukum lainnya, memiliki integritas, kapabelitas, dan kredibilitas yang mumpuni, ternyata sekedar wacana belaka.
Sebagaimana bocoran sumber Kompas.com di kalangan elit sekitar jokowi,ternyata formasi kabinet Jokowi-JK lebih selain banyak diisi oleh orang-orang dari lingkaran internal pendukungnya sendiri, sepertinya juga belum memenuhi sarat-sarat tersebut di atas.
Misalnya saja munculnya nama Wiranto yang diproyeksikan sebagai Menko Polhukam, kemungkinan besar akan mengundang kritikan dari para pendukung HAM. Bukankah peristiwa berdarah di Timor Timur (Sekarang Timor Leste) jelang referendum, dan peristiwa Semanggi seringkali dikait-kaitkan dengan nama bosnya Partai Hanura tersebut.
Demikian juga halnya dengan Rini Soemarno yang disebut akan menduduki pos Menteri BUMN, ternyata memiliki ‘lampu kuning’. Menteri Perindustrian di era 2001-2004 ini dikabarkan pernah dipanggil KPK dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas BI.
Sementara Tjahjo Kumolo dan Puan Maharani, terlepas dari tidak memiliki catatan merah maupun kuning dari KPK, faktor kompetensi dan kapabilitas dua nama tersebut tampaknya masih diragukan. Bagaimanapun pengalaman sebagai pejabat publik,keduanya belum teruji.
Apalagi dengan nama Susi Pujiastuti yang akan ditempatkan sebagai orang nomor satu di Kementerian Pariwisata. Pengusaha ikan dan penerbangan perintis dari Pangandaran, Jawa Barat ini mengundang pertanyaan besar. Meskipun sosok ini dikenal sebagai pengusaha ulet dan sukses yang merangkak dari titik nol, akan tetapi untuk menjadi pejabat negara sepertinya belumlah tepat. Selain miskin pengalaman sebagai pejabat publik, kompetensi di itngkat elit pun sepertinya sami mawon.
Oleh karena itu, kalau memang benar ‘bocoran’ tersebut menjadi kenyataan, Kabinet Jokowi-JK tidak lebih dari kabinet-kabinet sebelumnya. Politik transaksional yang sebelumnya diharamkan oleh Jokowi, dalam kenyataannya diterapkan juga. Sehingga politik balas budi masih tetap dianggap nomor satu. Sementara sarat-sarat yang kerap diobral sebelumnya, hanyalah sekedar fatamorgana belaka ternyata.
Maka pihak-pihak yang sejak lama bersikap antipati pun akan semakin gila saja dalam menyerang Jokowi-JK. Selain jadi bahan tertawaan dan ejekan, tidak menutup kemungkinan pula akan menjadi ‘makanan empuk’ dari kelompok nun di ‘seberang’ sana yang memang berharap Jokowi yang telah mempecundanginya dalam Pilpres lalu akan segera jatuh pula secepatnya.
“Salam gigit jari”, sudah pasti akan banyak bermunculan kembali di berbagai media sosial yang dikirim para Jokowihaters. Sedangkan para pendukungnya bisa jadi hanya duduk termenung tanpa dapat berbuat apaapa lagi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H