Peringatan HPN (Hari Pers Nasional) yang jatuh 9 Pebruari lalu, ditandai dengan keluhan beberapa kepala SD (Sekolah Dasar) di wilayah Tasikmalaya utara, karena didatangi orang yang mengaku wartawan, dengan tujuan meminta sumbangan, katanya untuk kegiatan HPN tersebut.
Yang menjadi keluhan para kepala SD, ketika diberi uang sebesar Rp 20 ribu, ‘wartawan’ itu mencak-mencak menolaknya, “Itu sama saja dengan menghina kami para wartawan,” katanya. Tapi setelah diberi senilai Rp 50 ribu barulah dia mau menerimanya.
“Sebetulnya kami tidak punya anggaran untuk menyumbang wartawan,” keluh seorang kepala SD, “Tapi karena dia memaksa, terpaksa saya merogoh dari kantong sendiri.”
Sebagai orang awam, saya sendiri merasa prihatin dengan kondisi seperti ini. Bisa jadi kasus seperti itu tidak hanya terjadi di wilayah Tasikmalaya utara saja. Mungkin di daerah lain pun banyak warga yang pernah mengalaminya, berhadapan dengan sosok ‘wartawan’ semacam ini.
Sebagaimana diungkapkan anggota Dewan Pers, Wina Armada, banyak keluhan terutama di daerah dengan munculnya wartawan gadungan, orang-orang yang mengaku wartawan. Mereka memanfaatkan pekerjaan di bidang jurnalistik yang bersifat terbuka untuk memeras. Ini yang perlu kita waspadai.
Isyarat anggota Dewan Pers tadi menyiratkan agar masyarakat memang harus berhati-hati dengan kehadiran orang yang mengaku wartawan. Di Tasikmalaya utara saja banyak berkeliaran orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya, maksud saya tidak memiliki latar belakang jurnalistik sama sekali, tiba-tiba dengan gagahnya, berkalung kartu pers yang entah dibeli dengan harga berapa, mendatangi kantor kecamatan,atau kantor desa. Lalu tanya ini-itu bak seorang penyelidik picisan, dan membuat karyawan kantor menjadi agak ketakutan, dankarena merasa cemas, ditambah sang ‘wartawan’ masih terus nyerocos ngomong tak tentu arahnya, sepertinya masih betah tak juga pamitan, para karyawan pun ahirnya menyelipkan amplop berisi uang recehan ke saku sang ‘wartawan’. Barulah dia minta diri untuk pulang.
Padahal mereka, para karyawan kantor, tahu, sebelumnya sang ‘wartawan’ itu berprofesi tukang ojek di perempatan jalan, yang satunya lagi bekas preman di terminal, yang itu malahan memang seorang pengangguran!
Apalagi ketika mendengar ada orang punya ‘masalah’. Sang ‘wartawan’ itu pun jadi sumringah. Bersemangat bak pejuang empat lima. Ada TO (Target Operasi), katanya. “Kalau Anda tidak memberi sejumlah uang, kasus Anda akan kami beritakan,” Begitulah modus yang mereka lakukan, dan yang sering saya dengar.
Hal ini bisa terjadi, selain masih terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang tugas wartawan, juga ditambah lagi dengan sedemikian terbukanya kesempatan untuk menjadi wartawan. Sehingga sebagai masyarakat, kami menyeru kepada seluruh pemangku kepentingan agar menyikapi masalah yang sudah begitu mewabahnya itu.
Karena kalau dibiarkan terus, kami kasihan kepada para wartawan sungguhan. Bisa-bisa merekapun kena getahnya. Jangan sampai dianggap setali tiga uang dengan wartawan gadungan.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2012/02/11/11221323/Waspadai.Wartawan.Gadungan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H