Dalam hidup ini begitu banyak pilihan memang.
Seperti malam ini, usai berbuka puasa bersama keluarganya, Kang Sarpin menjadi bingung hendak berbuat apa. Sementara perutnya terasa bagaikan petasan jumbo yang dibakar, dan untuk beberapa saat siap untuk meledak. Betapa tidak. Sewaktu tadi berbuka puasa, setelah meneguk segelas air putih sampai tandas, dia langsung menyambar semangkuk kolak pisang jatahnya yang dibeli istrinya dari pedagang keliling tadi sore.
Tak memakan waktu sepuluh menit, mangkuk yang semula isinya hampir meluber itupun yang tinggal menyisakan sedikit  cairan gula pemanis, ditaruh kembali ke atas meja di hadapannya.
Dengan pandangan sedikit liar, melihat lauk-pauk yang terhidang, dan hal itu merupakan pertama kalinya terjadi selama bulan Ramadhan ini – banyak hidangan yang mengundang selera, Kang Sarpin pun kemudian mengambil piring kosong. Lalu mengisinya dengan nasi putih, di atas nasi sebuah goreng paha ayam dan pepes ikan mas seukuran seperempat kilogram. Ah, rupanya di atas nasi dalam piring yang dipegangnya itu tampak masih ada tempat parkir yang masih kosong. Diapun menyendok sambal tomat kesukaannya, biar semakin menambah selera.
Akibatnya, terasa perutnya bagaikan hendak meledak, karena telah terisi penuh sesak. Bernapas pun seperti orang sedang menanjak. Sementara tubuhnya dibuat sulit untuk bergerak. Kang Sarpin mengisi perutnya kelewat kenyang memang. Padahal malam ini mestinya segera berangkat ke mushala untuk shalat Isya. Setelah itu disambung bersama-sama untuk mengumandangkan takbiran. Karena besok hari adalah tibanya hari raya Iedul Fitri.
Apa boleh buat. Di ruang depan Kang Sarpin duduk di atas kursi sendirian. Di ruang tengah anak-anaknya ramai merencanakan kegiatan besok hari yang akan dilakukan. Sementara istrinya kembali sibuk di dapur mempersiapkan hidangan untuk merayakan hari kemenangan. Suara takbir lewat pengeras suara dari masjid di berbagai penjuru sudah mulai terdengar berkumandang. Dan di luar rumah anak-anak tetangga riuh-rendah sambil membakar kembang api dan petasan.
Kang Sarpin terhenyak. Sementara pikirannya meloncat-loncat. Setelah shalat Subuh, langsung mandi dan mengenakan baju koko terbaru berikut kain sarung yang sering diiklankan di televisi. Hanya saja yang jadi masalah, melaksasanakan shalat sunat Iedul fitrinya di masjid mana.
Itulah masalahnya.
Pilihan pertama yang singgah di kepalanya adalah masjid DKM 2 yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya. Alasannya tak lain karena selain sebagai tempat ia menunaikan shalat Jum’at setiap minggu, di hati Kang Sarpin terselip niat untuk sedikit memamerkan pakaian lebaran tahun ini. Karena menurut istrinya, model yang dibelikannya itu merupakan model terbaru. Bisa jadi para tetangga dan jamaah di masjid itu belum ada yang memilikinya. Tapi... kira-kira siapa nanti yang akan berkhotbah di masjid DKM 2 kali ini. Jangan-jangan yang tampil di mimbar adalah ustaz Saleh. Karena sepengetahuan Kang Sarpin ajengan dan ustaz yang lain biasanya akan mendapat tugas untuk berkhotbah di masjid lain yang tersebar di pelosok desanya. Dan karena ustaz Saleh dianggap paling senior, ditambah usianya sudah semakin tua, maka dia akan bertahan di masjid DKM 2.
Hanya saja biarpun namanya Saleh, tapi di mata Kang Sarpin ustaz yang satu ini ucapan dan kelakuannya seringkali bertolak belakang. Hmpir di setiap khotbahnya, ustaz Saleh ada saja jamaah yang kena sentil dan sindir ucapannya. Termasuk Kang Sarpin sendiri.
Gara-gara diri Kang Sarpin yang saban menyabit rumput untuk kambingnya di kebun orang juga yang menjadi masalahnya. Cuma menyabit rerumputan liar. Sama sekali tidak mengambil dedaunan pohon alba, atau jati putih yang sengaja ditanam si empunya. Tidak. Karena Kang Sarpin juga tahu itu sama dengan mencuri dan merusak tanaman milik orang. Selain hukumnya haram, diapun merasakan, bagaimana kalau tanaman di kebunnya dicuri orang. Dalam khotbahnya pada Jum’at di bulan pertama Ramadhan, ustaz Saleh mengatakan, bahwa orang yang menyabit rumput di kebun orang lain tanpa seijin si empunya, itu sama saja dengan mencuri. Yang namanya pencuri, baik menurut agama maupun negara, maka harus mendapat hukuman.