“Sampurasun...”
Semua orang di warung kopi itu menoleh ke arah datangnya suara yang memberi salam dari jalan masuk sembari hampir serempak menjawab, “Rampes...”
Ternyata Abah Madrais, salah seorang kokolot (Tokoh yang paling dituakan, atawa tokoh masyarakat) kampung kami yang disegani, dan beliau ini juga seorang guru ngaji anak-anak, mulai dari mengeja alif ba ta, sampai yang akan khatam setelah mengulang tujuh kali membaca seluruh juz Al Qur’an.
“Pantesan tidak turun hujan, ternyata Abah datang bertandang...” ujar Jang Ayi sambil menyalami Abah Madrais, nama lengkapnya Muhammad Rais, hanya saja kebiasaan di kampung kami, dan mungkin pada umumnya orang Sunda cenderung suka menyingkat nama orang, seperti juga Abdul Hamid, orang lebih suka memanggilnya Dulhamid. Bisa jadi selain lebih mudah menyebutnya, juga memberi kesan lebih akrab dan familiar.
“Kebetulan tadi dari pulang melihat sawah yang akan dicangkul besok hari, Abah diminta Ambunya untuk membeli amis-amis (makanan ringan) untuk anak-anak yang bekerja,” sahut Abah Madrais.
“Tapi Alhamdulillah, kami gembira juga bertemu dengan Abah sekarang ini. Selain sudah lama tidak bersilaturahmi, juga kebetulan tadi kami sedang gunem catur (diskusi ringan) perkara salam khas Sunda seperti yang tadi abah ucapkan,” kata Kang Atang.
“Memangnya mengapa dengan kata sampurasun itu, Jang ?” tanya Abah sedikit heran.
“Tidak, Bah. Hanya saja apakah benar arti kata sampurasun itu campur racun ?”
“Kata siapa itu ?” Abah kembali bertanya dengan mimik terperangah.
“Itu tuh, kata ustaz-nya Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab...” sahut Jang Ayi. Dan Abah tampaknya tidak percaya dengan jawaban Jang Ayi itu.
“Ah, yang benar saja, masa seorang ustaz sekaliber Habib bilang seperti itu ?”