Hari Raya Iedul Adha, sebagaimana Hari Raya Iedul Fitri, bagi umat Islam - tentu saja, biasa juga disebut sebagai Hari Kemenangan. Karena sebelum merayakan Iedul Fitri, umat Islam telah melaksanakan ibadah puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Sedangkan sebelum merayakan Iedul Adha, terlebih dahulu beramal saleh selama 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dan puasa Arafah.
Beberapa hari lagi, tepatnya tanggal 4 Oktober yang akan datang, bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah 1435 H, seluruh umat Islam kembali akan merayakan Hari Raya Iedul Adha, yang biasa juga dinamakan Hari Raya Hajji, juga disebut Iedul Qurban.
Ya, dinamakan demikian karena pada hari itu Allah SWT memberikan kesempatan kepada mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Mereka itu adalah orang telah mampu melaksanakan ibadah haji. Sedangkan bagi yang belum mampu pergi berhaji, maka masih ada cara lain, yaitu menyembelih hewan kurban.
Selain untuk mendekatkan diri kepada Sang Mahapencipta, sebagai ujud ketakwaan dan kecintaan makhluknya, juga terkandung makna lain di dalamnya, yaitu sebagai bentuk rasa solidaritas antar sesama manusia. Terutama kepada mereka yang hidup berada di bawah garis kemiskinan, yang lebih dikenal dengan sebutan kaum dhuafa.
Oleh karena itu seandainya kita ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagai makhluknya yang beriman dan bertakwa, marilah kita berlomba-lomba untuk menuju ke arah sana. Dan pada waktunya nanti, usai melaksanakan sembahyang sunat Iedul Adha, sembelihlah ternak kita untuk kemudian dagingnya dibagikan kepada kaum dhuafa...
Begitu antara lain seruan seorang ustaz, lewat pengeras suara, dalam pengajian mingguan yang terdengar oleh kami yang sedang nongkrong di warung kopi, yang letaknya tidak jauh dari Majlis Ta’lim tersebut.
“Kaum dhuafa, atawa fakir miskin itu siapa ya ? “Mang Samsu melempar pertanyaan.
“Ya, orang-orang yang hidupnya serba kekurangan. Kalau menurut pamong desa mah biasa disebut orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, atawa RTM (Rumah Tangga Miskin) tea, “ sahut Jang Dodo sembari mengunyah pisang goreng.
“Kalau begitu saya juga masuk golongan itu atuh, Jang, “ kata Mang Samsu, “Dan sudah tentu bakal kebagian daging kurban.”
“Wah kalau Mang Samsu mah gak masuk hitungan atuh. Soalnya miskinnya disengaja. Harta bendanya habis di meja judi !” celetuk Kang Ujang yang sejak tadi diam saja. Lalu pecahlah tawa di warung kopi itu, kecuali Mang samsu yang malah menunduk dengan mulut cemberut.
“Tapi ngomong-ngomong, berapa orang kabarnya di kampung kita yang sekarang mau kurban ?” Jang Dodo seperti mengalihkan pembicaraan.
“Menurut pengurus DKM (Dewan Keluarga Masjid) Al Ikhlas, kalau tidak salah ada enam orang,” celetuk seseorang dari dalam warung, yang ternyata Mang Elon, pelayan sekaligus empunya warung kopi itu.
“Lumayan juga. Warga di kampung kita tentunya akan kebagian semuanya. Paling tidak semuanya akan mencicipi daging kurban,” kata Jang Dodo.
“Nah, itulah masalahnya, Jang. Mau banyak, mau sedikit orang yang berkurban. Tetap saja seringkali banyak yang tidak kebagian,” ungkap Mang Samsu dengan lumayan lantang.
“Maksud Mamang ?”
“Ujang mah tidak tahu, karena memang belum lama tinggal di kampung kita ini. sudah jadi kebiasaan di kampung ini, yang paling banyak mendapat jatah daging kurban adalah sesepuh DKM. Ya, yang tadi memberi tausiah di Majlis Ta’lim itu. Kemudian para pengurus DKM, juga para tetua kampung. Sedangkan kita-kita yang disebut kaum dhuafa, ya hanya kebagian sisanya. Per KK (Kepala Keluarga) paling kebagian 2 ons. Itupun bukan seluruhnya daging, tapi kebanyakan tulangnya saja!” jelas Mang Samsu agak panjang.
“Padahal sesepuh dan para pengurus DKM, serta tetua kampung, di mata Mamang tak seorangpin yang masuk kategori dhuafa...”
“Koq bisa begitu ya ?”
“Begitulah. Kenyataannya begitu memang... “ jawab Mang Samsu, Kang ujang, dan Mang Elon hampir serempak. ***
#Serial Obrolan di Warung Kopi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H