Memang magnet kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok begitu menyedot perhatian. Tidak hanya media sosial, media mainstream bertaraf lokal, nasional, hingga internasional pun seolah berpacu untuk paling depan menyiarkan beritanya.
Dari maraknya pemberitaan tersebut, ada yang berkomentar, justru akan menjadi berkah bagi Ahok sendiri, manakala  dirinya bertarung di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 yang tak lama lagi akan diselenggarakan.
Argumentasinya, karena sidang tersebut selalu dipublikasikan oleh media massa sehingga masyarakat luas mengetahui duduk permasalahan kasus itu.
Pertanyaannya, apakah dengan demikian akan serta-merta Ahok memenangkan pertarungan itu, dan kembali memimpin Provinsi DKI Jakarta untuk periode 2017-2021?
Sepertinya tidak semudah itu Ahok mampu melenggang kembali menjadi Administrator DKI Jakarta. Rivalnya pun tidak akan tinggal diam untuk menghalanginya.
Ahok yang WNI keturunan, penganut agama minoritas dari sebagian besar warga Jakarta, masih tetap saja menjadi isu empuk bagi penantangnya. Belum lagi sikapnya yang seringkali dicap tidak punya etika, bicara yang kasar, dan terkesan asal ‘njeplak saja, adalah senjata ampuh untuk menghabisi karir mantan Bupati Belitung Timur itu.
Pokoknya dosa-dosa Ahok selama memimpin DKI Jakarta bisa jadi akan melebihi tumpukan sampah di Bantar Gebang sana saking banyaknya. Dari penggusuran warga di bantaran kali Ciliwung, Kalijodo, dan tempat lainnya yang tidak manusiawi, perihal reklamasi teluk Jakarta yang hanya menguntungkan pengusaha kakap belaka, hingga korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras yang dituding telah dikorupsi, serta yang paling gress adalah jadi terdakwa penodaan agama, paling tidak akan membuat warga Jakarta gamang penuh keraguan.
Di dalam hati mereka (warga Jakarta) pun muncul berbagai pertanyaan. Benarkah Ahok telah menista agama, benarkah Ahok tidak berpihak pada rakyat kecil, benarkah Ahok telah melakukan tindak pidana korupsi?
Dalam masalah ini warga Jakarta tidak bisa disamakan dengan mereka yang tinggal di pedalaman. Dalam kegamangannya, warga Jakarta tentu akan dengan cerdas memilah dan memilih calon pemimpinnya.
Melalui media, dan fakta di lapangan, warga Jakarta akan mampu membedakan mana berita yang sesuai fakta, dan mana berita yang sekedar isu belaka.
Demikian juga di dalam menjatuhkan pilihan saat pencoblosan kertas suara di bilik yang disediakan di masing-masing tempat pemungutan suara, apakah warga Jakarta akan menetapkan pilihannya terhadap calon yang bisanya hanya mengkritik rivalnya, dan hanya menjanjikan angin surga belaka, atawa memilih calon yang sudah ada buktinya.