Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Money

Ancaman Kepunahan Mulai Jadi Kenyataan

18 Februari 2012   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Bertandang ke sebuah perkampungan di daerah pegunungan, atas undangan seorang teman, rasanya sulit untuk ditolak karena cukup menyenangkan memang. Betapa tidak, setelah sekian lama menjalani rutinitas, di tengah hiruk-pikuknya keramaian kota, suatu saat butuh juga adanya pergantian suasana. Apalagi mengunjungi alam yang masih perawan, belum banyak tersentuh polusi.  Hanya saja sebaiknya sepeda motor jenis trail akan lebih cocok digunakan, karena sudah terbayang akan menempuh perjalanan yang lumayan berat penuh tantangan.

Memang, setelah menempuh perjalanan sekitar 2 Km dari pusat kantor Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya,  ke arah utara,  dengan kondisi jalan beraspal yang  telah rusak parah, dan mungkin telah lama dibiarkan tanpa ada pemeliharaan, dalam setengah perjalanan ke tempat tujuan, udara di sekitar akan terasa mulai berbeda, sejuk dan segar. Jalanan pun terasa mulai menanjak, dan terus menanjak. Tapi terasa demikian beda dari biasanya. Terutama hidung bagaikan dimanjakan dengan wewangian bunga pepohonan yang berjejer di tepi jalan.

Apalagi setelah mendekat ke tujuan, kampung Nyalenghor dan kampung Lusian yang lain desa, yakni kampung Nyalenghor masuk wilayah desa Nanggewer, sedangkan kampung Lusian berada di wilayah desa Sukapada, selain hembusan udara segar pegunungan, tiba-tiba hidung pun akan disambut dengan wanginya asap khas yang tak kalah menyegarkannya.

Itulah wangi asap yang datang dari dapur-dapur penduduk yang sedang mengolah gula dari air nira bunga pohon enau (Bhs. Sunda: Kawung). Yang lebih dikenal di pasaran dengan nama gula merah, atau gula jawa.

Memang di wilayah utara Kabupaten Tasikmalaya ini, sejak lama kedua kampung di dua desa itu dikenal sebagai penghasil gula merah yang diproduksi secara tradisional, dan merupakan industri rumahan,  tapi dengan  hasil yang cukup mencengangkan. Tercatat sekitar 5 ton gula merah setiap harinya dibawa para tengkulak dari sana untuk dipasarkan ke kota-kota sekitar.

Di kampung Lusian, saya bertemu H. Oha (57) seorang pengrajin gula yang mengaku sejak lahir sampai saat ini hidupnya tidak pernah jauh dari gula merah. Dari bahan pemanis itu  dirinya dapat bersekolah sampai mendapat gelar sarjana, dan jadi seorang pendidik di sebuah sekolah dasar dengan status PNS golongan IV a. Malahan   berkat gula juga beberapa tahun lalu bersama istrinya, H. Oha dapat menunaikan rukun Islam kelima. Demikian juga kedua orang putranya dapat bersekolah sampai jadi sarjana, dan masing-masing telah bekerja sebagai aparat pemerintah,  semuanya dari hasil gula pula.

Dengan memiliki puluhan pohon enau yang tumbuh di kebunnya, setiap hari niranya disadap sendiri bersama kedua putranya. Kemudian diolah menjadi gula. Dan dipasarkannya langsung bersama keluarga ke pasar kecamatan. Rutinitas itu dijalani tiada henti sebelum berangkat menunaikan tugas sebagai pegawai negeri. Selain memasarkan hasil olahan keluarganya, gula yang diproduksi tetangga sekitar pun dititipkan kepada H. Oha untuk dijualkannya. Sehingga berkah dari kepercayaan para warga sekitar juga kehidupan H. Oha dapat berhasil seperti sekarang ini.

Ancaman Kepunahan Mulai Jadi Kenyataan

Dalam kesempatan itu, selain H. Oha sebagai tuan rumah, datang pula beberapa tetangga yang ikut bercengkerama. Malahan dari kampung Nyalenghorpun tampak tidak ketinggalan. Karena jarak kedua kampung itu memang tidak seberapa. Sekitar 500 meteran. Dan hanya dibatasi oleh tebing yang curam.

Setelah lama ngobrol ngalor-ngidul, muncullah keluh-kesah dari mereka. Bahwa pohon kawung/enau  yang menjadi sumber kehidupannya, dikhawatirkan tidak lama lagi akan mengalami kepunahan. Dengan adanya usaha pembuatan tepung yang bahannya dari pati pohon kawung/enau, adalah salah satuya yang menjadi ancaman. Menurut warga, para pengrajin tepung dengan semena-mena menebangi pohon enau itu tanpa pandang bulu.

“Para pengrajin tepung itu mendatangi warga yang membutuhkan uang, agar mau menjual pohon kawungnya untuk ditebang,” ungkap H. Oha yang diamini para tetangganya.

Selain itu,  penangkapan musang, atau luak menjadi ancaman bagi kelangsungan tumbuh-kembangnya pohon yang disebut mereka banyak gunanya. Selama ini musang/luwak menjadi satu-satunya makhluk yang bisa menyemaikan bibit enau itu. Tapi dengan munculnya trend kopi luwak, yang mahal itu, sudah tentu para produsen kopi banyak membutuhkan binatang pemakan biji kopinya. Dengan harga sekitar Rp 250 ribu per ekor, bagi warga merupakan nilai yang lumayan menggiurkan. Sehingga musang/luakpun banyak ditangkapi mereka. Dan akibatnya, pertumbuhan bibit enau pun mulai tampak berkurang.

Sebagaimana dikatakan warga, padahal pohon enau itu banyak sekali gunanya. Selain air niranya dapat diolah menjadi gula, buahnya yang telah tuapun dapat dibuat jadi bahan penganan yang disebut kolang-kaling. Demikian juga pucuk daunnya merupakan bahan pembungkus  tembakau untuk dijadikan rokok. Sementara tulang daunnya yang telah tua, dapat dibuat menjadi sapu lidi. Bahkan yang paling jelas dirasakan, pohon enau/kawung dapat menahan erosi tanah yang kerap terjadi di daerah mereka yang memang konturnya bertebing  tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun