Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku, Salim Kancil, dan Sepi

6 Oktober 2015   10:18 Diperbarui: 6 Oktober 2015   10:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terbangun dari tidur karena mimpi yang menyeramkan, membuatku menyesal untuk memejamkan mata di dinihari tadi. Apa  boleh buat, sebuah sesal yang tak ada artinya sama sekali. Karena semuanya sudah terjadi. Sebagaimana warta berita di pesawat televisi, yang tak sengaja kuperhatikan saat menyeruput kopi yang baru diseduh di dapur tadi. Andaikan saja Salim Kancil melolong berteriak minta tolong saat dipaksa pergi oleh para penculiknya, mungkin saja peristiwa pembantaian yang membuat nyawanya pergi dari tubuh aktivis penolak penambangan pasir ilegal itu tak akan pernah terjadi. Karena di saat bersamaan, para tetangganya akan keluar dari rumah masing-masing untuk memberi bantuan, dan menghalau gerombolan penculik yang hendak merudapaksa salah seorang tetangganya.

Tapi semuanya sudah terjadi memang. Salim Kancil pun tewas di tangan para penculik, sekaligus pembantainya yang gerah dengan ulahnya: menolak penambangan pasir di pesisir Kabupaten Lumajang. Dan peristiwa itu menghebohkan negeri ini kali ini. Polisi pun bekerja keras mengungkapnya agar terang-benderang. Lantaran telunjuk publik kadung terarah ke hidung aparat yang acapkali dituding tidak tegas dalam melaksanakan tugasnya.

Aku menghela napas agak panjang. Pesawat televisi lalu dimatikan. Gelas kopi yang masih kupegang, isinya diseruput lagi perlahan. Tiba-tiba sepi mengoyak. Aku tergeragap. Semua orang sudah sejak tadi meninggalkan rumah, bergegas menuju tujuan masing-masing. Istriku berangkat ke tempat kerjanya, anak-anak ke sekolah. Tinggallah aku seorang diri. Padahal dalam suasana seperti ini biasanya aku merasakan suatu kelegaan. Karena semuanya jadi milik diriku sendiri, baik tempat maupun waktu. Aku akan bebas untuk melakukan aktivitas. Membaca buku yang semalam tak sempat dibaca, atawa menulis sampai beberapa jam ke depan.  Namun kali ini mengapa lain dari biasanya, dan berita tentang pembunuhan Salim kancil yang kubaca, maupun kulihat saban hari – belakangan ini, kali ini begitu kuat menyeret hatiku ke tubir sepi,  dan... membuatku ingat akan mati.

Ya, kematian yang merupakan ahir dari kehidupan. Dan sudah pasti akan dialami semua orang. Akan tetapi mengingat kematian seorang Salim Kancil, warga dari sebuah desa di pelosok Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, meskipun begitu tragis, dan dengan cara dibantai di luar  perikemanusiaan, namun pada ahirnya jadi buah bibir di negeri ini, malahan bisa jadi sampai meluas ke berbagai negeri juga. Karena semuanya karena media. Sebagaimana aku sendiri yang sampai ratusan kilometer jaraknya dengan tkp, bahkan dengan Salim Kancil pun tidak kenal sama sekali, setelah mengikuti berita tentangnya, hatiku jatuh simpati.

Dengan kematian Salim Kancil, aku berharap dapat membuka mata semua pihak. Perusakan lingkungan yang hanya untuk kenikmatan sesaat, sebagaimanapenambangan pasir pantai ilegal, tidak hanya terjadi di Lumajang saja. Di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat pun, tepatnya di pantai Cipatujah, eksploitasi pasir besi telah berlangsung cukup lama. Media lokal maupun nasional sudah seringkali memberitakannya. Warga dan aktivis lingkungan berulangkali melakukan unjukrasa penolakan. Karena selain merusak lingkungan, di Cipatujah itu pun merupakan salah satu tempat nyaman untuk penyu (salah satu binatang yang dilindungi) mengembangbiakkan kehidupannya.

Akan tetapi saat aku masih aktip hilir-mudik, pihak pemerintah setempat, pemkab Tasikmalaya seolah tutup mata, malahan disinyalir memberi ruang-gerak bagi para penambang liar itu. Lalu sekarang, bagaimana kabarnya ? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun