Salah satu nama menteri di dalam jajaran Kabinet Kerja Jokowi-JK, tercantum dalam dakwaan jaksa saat sidang skandal megakorupsi KTP elektronik digelar di pengadilan tindak pidana korupsi.
Adalah Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang diduga menerima aliran dana haram sebesar 84.000 dollar AS, atawa Rp 614 juta (Bila konversi mata uang menggunakan kurs  tahun 2012, 1 USD = Rp 9.700) saat yang bersangkutan menjadi anggota di Komisi II DPR RI periode 2009-2014 dari fraksi PDIP.
Oleh karena itu, masyarakat pun saat ini menanti sikap Presiden Jokowi terhadap seorang Yasonna Laoly. Karena di samping komitmen Jokowi sendiri untuk menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini, termasuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu, juga yang paling digarisbawahi dalam masalah ini, karena saat ini yang bersangkutan adalah pembantu Presiden di bidang hukum.
Sehingga bagaimana jadinya hukum bisa ditegakkan bila menteri di bidang itu sendiri justru diduga pernah terlibat pelanggaran hukum, bahkan dalam kasus yang termasuk kategori extraordinary crime lagi.
Hingga saat ini Yasonna Laoly belum ditetapkan sebagai tersangka memang. Dalam kasus e-KTP itu baru dua orang saja yang telah menjadi terdakwa, yakni pejabat di Kementerian Dalam Negeri, atas nama Irman dan Sugiharto. Sehingga untuk membuktikan keterlibatan Yasonna Laoly dalam kasus tersebut, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) harus menemukan sedikitnya dua alat bukti.
Mungkin karena itu juga, Presiden Jokowi belum bereaksi dalam masalah ini. Bisa jadi Jokowi tidak akan campur tangan, dan membiarkan proses hukum terus berlanjut sebagaimana mestinya. Jika jaksa sudah menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka misalnya, bahkan hingga berlanjut menjadi terdakwa, apalagi sudah mendapat ketetapan hukum yang tetap, Â mungkin lain lagi persoalannya. Jokowi tidak akan berdiam diri lagi, dan kemungkinan besar posisi Yasonna Laoly sebagai Menkumham akan buru-buru diganti.
Hanya saja, patut menjadi catatan bagi Presiden Jokowi, bila mengangkat menteri jangan hanya karena balas budi, atawa disebabkan adanya transaksi saja. Akan lebih baik lagi faktor profesional dan rekam jejaknya harus lebih diutamakan lagi.
Bagaimanapun ekspektasi masyarakat terhadap Presiden Jokowi untuk jadi komandan dalam memberantas korupsi di negeri ini masih tinggi. Apalagi di saat muculnya skandal megakorupsi KTP elektronik sekarang ini. Selain diduga melibatkan banyak politisi yang sebagian besar berasal dari parpol koalisi pemerintahan Jokowi-JK, juga karena ada Yasonna Laoly yang notabene sebagai penggawa Presiden sendiri.
Barangkali hal itu akan menjadi tantangan tersediri bagi Jokowi. Masih tidak akan bergemingkah, dan tetap memiliki komitmen tinggi, atawa malah justru sebaliknya akan membuat kejutan baru, alias bermanuver dengan menciptakan isu lain sebagai upaya mengalihkan perhatian masyarakat, agar kasus megakorupsi yang terjadi sekarang ini menguap lenyap sebagaimana halnya kasus besar lainnya yang pernah terjadi sebelumnya?
Entahlah.
Trauma masyarakat terhadap penegakan hukum yang seolah hanya suatu permainan masih sulit disembuhkan memang. Terlebih lagi bila menyangkut jajaran politisi yang menyandang nama besar. Salah satu di antaranya politisi Partai Golkar yang saat ini menjadi ketua DPR RI. Meskipun sudah beberapa kali nama Setya Novanto ini disebut tersangkut berbagai kasus tindak pidana korupsi, namun tak satu kasus pun yang dapat berlanjut.