Apabila menjelang hari raya Lebaran Iedul Fitri, biasanya  sejak H-5, tiba-tiba saja setiap sore hari, jalan di antara kampung kami dengan kampung sebelah akan ramai oleh lalu-lalang sepeda motor matic yang dikendarai gadis-gadis muda yang berboncengan dengan sesamanya.
Gadis-gadis usia SMP dan SMA. Ibarat bunga yang mulai mekar laiknya. Tapi mereka jangankan mengecap pendidikan sampai SMA. Bersekolah setingkat SMP saja boleh jadi hanyalah ada di angan-angannya belaka. Dan itu pun mungkin hanya muncul ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, hingga ijazah sudah di tangan.
Betapa tidak, di saat-saat sesamanya yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan hingga tingkatan menengah, atau bahkan hingga perguruan tinggi, mereka justru lebih memilih untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari kerja keras sebagai asisten rumah tangga, dan baby sitter di kota.
Tampaknya anak-anak gadis itu tidak mau kalah dengan anak-anak lelaki mudanya. Selepas menyelesaikan sekolah dasar, memang sebagian besar dari anak-anak di sekitar kampung kami berlomba untuk pergi ke kota. Bekerja sebagai buruh di pabrik, atau bahkan sampai ada juga yang menjadi kuli bangunan.
Selain dua pekerjaan seperti itu, ada pula di antaranya yang ikut  membantu kerabat atau tetangganya yang sudah terlebih dahulu berprofesi sebagai pedagang. Sambil bekerja dan mendapatkan upah, mereka pun bisa mendapatkan ilmu berdagang, serta resep-resep membuat barang dagangan yang kemudian apabila sudah merasa menguasainya, mereka pun membuka usaha sendiri.
Kebanyakan dari mereka, anak-anak muda, yang memilih sebagai calon wirausaha kuliner, di antaranya adalah jualan kue martabak di kaki lima yang tersebar di banyak kota, membuka usaha kerupuk kulit, atau jualan tahu keliling keluar masuk gang kecil.
Sedangkan mereka yang bekerja di pabrik, bukanlah di pabrik industri berskala besar. Bukan. Melainkan di pabrik golongan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), atau industri berskala kecil yang disebut juga sebagai industri rumahan yang memproduksi bahan makanan seperti tempe dan tahu, atau juga usaha yang memproduksi makanan jadi seperti kue, kerupuk, dan yang lainnya.
Adapun para majikan pemilik pabrik pun kebanyakan dari kampung yang sama. Sehingga hubungan antara buruh dengan majikannya pun tampaknya cenderung tidak formal, sebagaimana halnya yang terjadi di suatu perusahaan, atau perindustrian berskala besar. Sama sekali tidak mengenal apa itu upah minimum regiona (UMR) maupun upah minimum provinsi (UMR), apa lagi soal kerja kontrak dan sebagainya.
Dalam hal ini, hubungan antara majikan dengan pekerja di dalam usaha kecil lebih bersifat kekeluargaan. Sekalipun sesungguhnya selain ada pelanggaran hukum terkait eksploitasi pekerja di bawah umur, jam kerja yang melebihi batas waktu yang ditentukan dan upah yang di bawah standar UMR maupun UMP seringkali dapat ditemukan pada usaha level UMKM tersebut.
Sama halnya dengan yang terjadi pada anak-anak gadis yang bekerja sebagai ART, baby sitter, atau yang mengurus manula, alias orang tua lanjut usia di kota. Tak sedikit dari mereka diperlakukan dengan semena-mena. Terutama terkait dengan waktu kerja.