Tahun 1980-an. Â Waktu masuk semester pertama kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota Jakarta, saya numpang tinggal untuk sementara di rumah Paman. Di bilangan Tomang Raya.Â
Selain rumah Paman memang cukup dekat dengan kampus, alasan lainnya karena diminta Paman untuk menemani anak-anak dan istrinya yang sering ditinggal pergi keluar kota.Â
Memang selain kedua anaknya yang masih balita, dan istrinya, tentunya, di rumahnya sudah ada tiga pembantu. Sebutan untuk asisten rumah tangga kala itu. Tapi ketiganya adalah perempuan. Sehingga pria dewasa hanya saya dan Paman, yang juga berperan sebagai kepala rumah tangga.Â
Tapi berhubung sebagaimana tadi disebutkan, Paman sering bertugas lama keluar kota, maka praktis saya sendiri yang harus bertanggung jawab atas keamanan rumah dengan segala isinya. Begitu juga bila kebetulan anak-anak dan Tante pergi jalan-jalan di hari libur, atau pergi belanja, saya selalu diminta untuk mengawalnya.Â
Sementara untuk tempat tidur, saya mendapat kamar tidur sendiri di dekat garasi. Bersebelahan dengan kamar tidur pembantu. Ya, tiga pembantu - Eh, ART - itu tidur bersama di dalam satu kamar. Tapi mendapat tempat tidur masing-masing. Karena kamarnya lumayan luas. Lima kali lima meteran.Â
Ketiga orang ART itu diambil dari sebuah agen penyalur pembantu. Salah satunya berasal dari daerah di Jawa Tengah. Berstatus janda muda. Umurnya 23. Tugasnya masak di dapur dan belanja ke pasar.Â
Sedangkan dua orang lagi urang Sunda. Tapi masing-masing berbeda asal daerahnya. Yang satu dari daerah Garut, bertugas mengasuh anak-anak, karena pertimbangan usianya paling muda di antara  mereka bertiga. Baru berumur 15 tahun. Masih perawan tingting.Â
Sementara satunya lagi berasal dari Subang. Â Adapun tugasnya mencuci pakaian, dan perabotan yang kotor, serta menyapu halaman. Statusnya bersuami. Tapi sudah lama ditinggal pergi oleh suaminya yang menjadi tenaga kerja di Arab Saudi. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dua anaknya yang sekarang tinggal di kampung bersama orangtuanya, terpaksa harus bekerja sebagai ART.Â
Mungkin karena tinggal satu rumah, dan saya selalu bersikap ramah kepada mereka bertiga, sikap mereka pun begitu baik kepada saya. Terutama dengan sikap Si Mbak yang berasal dari daerah Jawa Tengah. Â Saya merasakan kebaikannya begitu berlebihan.Â
Misalnya saja setiap ada pakaian saya yang sudah kotor, selalu dicucinya. Atau ketika sebelum berangkat ke kampus, di meja belajar saya sudah terhidang segelas kopi panas yang dibuat olehnya. Bahkan kalau saya telat makan, Si Mbak yang selalu mengingatkan dengan nada suaranya yang khas itu.Â