"Selamat sore, Pak."
"Sore. Silahkan duduk," cetusnya sambil wajahnya diangkat ke arah kursi di seberang meja yang di hadapannya. Tanpa dipersilahkan untuk kedua kalinya, sayapun langsung menduduki kursi itu.
"Barangkali ada masalah apa Bapak memanggil saya?"
"Begini, Mas (Entah mengapa kepada anak buahnya yang berjenis kelamin laki-laki, Â beliau selalu memanggil Mas. Tapi bisa jadi karena beliau berasal dari Yogyakarta), sore ini saya harus menghadiri pertemuan di hotel X, sedangkan Tajuk Rencana belum saya kerjakan. Oleh karena itu saya minta tolong kepada Mas untuk mengerjakannya..."
Saya tercekat seketika mendengarnya. Apa tidak salah pimpinan redaksi menyuruh seorang wartawannya untuk menulis Tajuk Rencana? Bukankah ada wakil pimred, atau juga redaktur pelaksana? Â Sehingga di kalangan para wartawan muncul anekdot, bahwa Tajuk Rencana merupakan kolom sakral, yang maksudnya hanya oleh orang tertentu saja mengerjakannya.
Tampaknya beliau sudah membaca kecamuk hi dalam hati saya, "Ya, memang seharusnya saya meminta Pak Henhen, atau kalau tidak kepada Pak Anton. Tapi kali ini hati saya lebih cenderung untuk meminta Mas saja untuk mengerjakannya. Apalagi Tajuk Rencana hari ini terkait dengan berita yang Mas tulis. Bagaimana, siap?"
Selama tiga tahun menjadi kuli tinta ( sebutan untuk profesi wartawan di tahun 1980-an masih berlaku), baru kali ini saya mendapatkan tugas untuk menulis suatu hal yang bukan semestinya menjadi tugas wartawan. Lha iya, menulis kolom Tajuk Rencana dimana-mana pun merupakan tugas pimpinan redaksi 'kan?
"Selain itu saya membaca beberapa opini yang pernah Mas tulis, style-nya kok mirip dengan tulisan saya..."
Saya tergelak. Rasa malu spontan datang menyergap. Tapi, "Mungkin karena Bapak termasuk salah seorang penulis yang saya kagumi. Sehingga tanpa disadari lagi saya pun tertular juga karenanya," saya mencoba mengelak dengan upaya membela diri, sekaligus memuji tanpa rasa sungkan lagi.
"Itulah makanya saya memberi tugas ini juga kepada Mas. Pokoknya sebelum deadline, sudah selesai, ya. Di sini saja mengerjakannya, nanti kalau sudah selesai langsung serahkan ke editor. Ayo, Mas, saya tinggal ya?!"
Setelah beliau pergi, untuk sesaat saya tercenung. Apakah akan mampu mengerjakan tugas yang diamanatkan pimpinan, dan sekaligus merupakan pekerjaan yang semestinya dikerjakan langsung oleh beliau?