Apalah jadinya bila seseorang membully ketidaksempurnaan diri kita, baik kemampuan maupun keadaan tubuh? Bisa jadi hal itu akan membuat kita sakit hati, atau sebaliknya justru menjadi pemicu agar kita bisa merubahnya menjadi lebih baik lagi.
-
Ketika itu, Guru olahraga di SMP kerap menyindirku demikian. "Apa artinya punya tubuh tinggi, tapi mubazir?" Ya, mubazir, alias tidak berguna. Pada awalnya memang meskipun kata-kata yang dilontarkannya itu bernada canda, namun terasa nyelekit di hati.
Sebagai siswa yang dikaruniai tubuh paling jangkung di kelasku saat itu, kalau tidak salah saat duduk di kelas dua, dan usiaku baru akan menjelang empat belas, tinggi badanku sudah sekitar 170-an sentimeter, seringkali sedikit menarik perhatian orang-orang di sekitar. Terutama teman-teman perempuan yang mencoba berdiri di sampingku. Sambil menggelendot manja, mereka membandingkan tinggi tubuhnya denganku.
Sudah barang tentu di mereka semua kalah tinggi. Dan aku pun merasa tersanjung dibuatnya. Terlebih lagi jika anak perempuan yang mendekatiku termasuk yang paling cantik. Gimana gitu rasanya.
Hanya saja karena mungkin kurang suka berolahraga, maka tinggi tubuhku tidak proporsional dengan beratnya. Boleh dibilang kerempeng memang. Daripada bermain bola voli, basket, atau juga sepakbola, aku lebih memilih menenggelamkan diri di perpustakaan.
Sehingga tak keliru kalau guru olahraga seringkali menyindirku sebagai pemilik tubuh jangkung tapi tidak berguna. Ngilu memang terasa dalam hati mendengarnya. Tapi apa mau dikata. Kalau hati tidak berkenan, apa boleh buat sakit hati ini harus kutelan. Kemudian langsung dimuntahkan di perpustakaan.
-
Memasuki kelas tiga SMP, ada perubahan yang terjadi dalam hidupku. Aku mulai merasakan tertarik pada seorang gadis adik kelasku.
Selain punya daya tarik paras yang cantik, diapun memiliki hobi yang sama denganku. Sama-sama suka menghabiskan waktu di perpustakaan. Dan dari seringnya bertemu di perpustakaan juga kami berdua menjadi bisa berkawan akrab.
Hanya saja selain senang membaca banyak koleksi buku di perpustakaan, gadis itu pun ternyata memiliki hobi yang sampai saat itu kurang kuminati. Apalagi kalau bukan olahraga. Terutama bola voli dan basket yang tampak ditekuninya saat itu.
Entah karena sering diajak menemaninya untuk latihan bola voli, entah karena seringnya mendapatkan sindiran pedas dari guru olahraga, sewaktu duduk di bangku kelas tiga SMP itulah aku jadi tertarik untuk menekuni olahraga bola voli. Bahkan beberapa saat kemudian aku malah menjadi pemain inti bola voli di sekolah kami.
Saking tertariknya aku dengan olahraga yang satu ini, aku sampai tahu beberapa pemain bola voli nasional saat itu. Misalnya saja Gugi Gustaman, yakni spiker yang berasal dari klub DLLAJR Bandung. Sehingga tak pelak lagi dalam hati tersirat keinginan untuk menjadi atlet nasional bola voli.
Hanya saja bisa jadi keinginan itu dikalahkan oleh minat yang lebih besar di hatiku, dan sudah bersemayam lama sebelum keinginan menjadi atlet nasional bola voli itu muncul. Apalagi kalau bukan untuk tetap menekuni hobi menulis yang sampai saat ini masih tetap dilakukan. ***