Fenomena sikap memandang remeh terhadap orang lain, termasuk kepada pimpinan sendiri yang dilihat mereka hanya dari cangkangnya saja, adalah suatu hal yang keliru. Barangkali mereka (para menteri itu) pun alpa akan peribahasa lama, dan menganggap kalau  air yang tenang di matanya tidak bisa menghanyutkan.
Tidak menutup kemungkinan pula jika para menteri yang kemarin "disemprot", dan "digertak" Presiden Jokowi, merasa bahwa rakyat Indonesia ini cuma para konstituennya yang bermental yesman, bahkan akan membelanya dengan membabi-buta, walau sudah tahu yang dibelanya itu dalam posisi yang salah sekalipun, karena sebelumnya mulut-mulut mereka telah dijejali (maaf) nasi bungkus misalnya.
Padahal sejatinya para menteri yang masih memiliki mental dan pandangan naif seperti itu, sudah seharusnya sadar diri. Sekarang ini bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang masih hidup di masa kolonial tempo doeloe.Â
Berkat kemerdekaan 75 tahun yang lalu, dan seiring proses kemajuan zaman pula, bangsa ini telah mulai sadar, dan bisa membeda-bedakan antara mereka yang mengaku elit sejati, tapi dalam kenyataannya bermental priyayi kolonial, dengan elit sejati yang sungguh-sungguh  sesungguhnya, yakni mereka yang di dalam sikap maupun ucapannya berbanding lurus demi bangsa dan negaranya.
Jadi, paradigma dan niat para menteri yang kemarin mendapat teguran keras dari Presiden Jokowi, jangan beranggapan bahwa teguran itu hanya keluar dari mulut seorang Jokowi belaka, melainkan juga dari mulut-mulut rakyat Indonesia yang sudah merasa muak dengan tingkah laku, khususnya para menteri di jajaran kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin, maupun mereka yang mengaku sebagai elit di negeri ini, namun sikap dan ucapannya selalu bertolak belakang dari yang diharapkan.
Sungguh. Dalam hal ini, barangkali kalimat: Tidak ada makan siang yang gratis, masih tetap berlaku, Bapak Menteri yang terhormat.
Kalian semua harus sadar dengan sumpah dan janji yang diucapkan di bawah kesaksian kitab suci saat dilantik. Karena sumpah dan janji itu adalah utang yang niscaya harus dibayar sekarang juga.
Ya, utang yang harus dibayar kepada 267 juta bangsa Indonesia ini, juga harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.Â
Atau jangan-jangan Tuhan pun telah dipersetankan, atau sudah tidak dipedulikannya lagi. ***