Kita tidak tahu harus bagaimana menyikapi keberhasilan Yasonna Laoly menangkap buronan pembobol Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa, yang sekarang ini begitu banyak diperbincangkan.
Apakah harus memberi apresiasi, dengan mengacungkan dua jempol, atau paling tidak angkat topi terhadap Menteri Hukum dan HAM yang juga politikus PDI-P ini, bahwa Yasonna Laoly telah bekerja keras, dan bersungguh-sungguh sebagai pembantu Presiden Jokowi dalam Kabinet Indonesia Maju sekarang ini?
Ataukah harus menganggapnya biasa-biasa saja, lantaran memang sudah seharusnya bahwa tugas yang diembannya itu adalah menegakkan supremasi hukum dan keadilan yang menjadi panglima tertinggi di negeri ini.
Entahlah. Dalam menyikapi kinerja Menteri Hukum dan HAM yang satu ini, sepertinya masih saja menyisakan kegamangan, dan tanda tanya yang butuh jawaban secara gamblang - sebagaimana halnya prinsip hukum itu sendiri yang menuntut kejujuran, keadilan, dan kebenaran yang hakiki.
Hanya saja yang jelas, apabila memang harus jujur dalam memberikan penilaian, terus terang saja, lantaran tadi juga sudah dikatakan bahwa masih tersisa kegamangan, apa boleh buat, keberhasilan Yasonna Laoly masih jauh dari harapan.
Bahkan kalau diibaratkan di dalam konteks antara seorang ayah dengan anaknya, sepertinya Yasonna Laoly tak lebih dari seorang anak yang malas, dan tidak patuh terhadap orang tuanya.
Betapa tidak, sebelum buronan Maria Pauline Lumowa tertangkap, kita mengetahui melalui rekaman video yang sudah tersebar luas, seorang Presiden Jokowi harus marah-marah di depan sidang paripurna Kabinet, dan sampai main gertak akan di-reshuffle terhadap jajaran kabinetnya yang dianggap belum bekerja secara maksimal, dan tidak memiliki sense of crisis di masa darurat seperti sekarang ini.
Kiranya gertakan Jokowi itu telah membuat Yasonna terbangun dari tidurnya. Dia pun langsung bergegas, lantaran tak ingin jadi pusat perhatian publik sebagai salah satu Menteri yang harus diganti, juga paling tidak barangkali untuk membuat senang hati  Presiden Jokowi agar jangan sampai marah-marah lagi.
Dugaan seperti itu bisa ya dan bisa juga tidak tersirat dalam hati pak Menteri yang satu ini.
Akan tetapi andaikan jawaban yang pertama itu tadi yang muncul, alangkah naifnya sikap seorang pemimpin lembaga penegak hukum tersebut.
Di satu sisi Jokowi, dan rakyat Indonesia ini memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap tegaknya supremasi hukum itu sendiri, sedangkan di sisi lain penegak hukumnya sendiri masih memiliki mental asal bapak senang (ABS), atau paling tidak asal jangan sampai Jokowi marah-marah lagi misalnya.