Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, kembali menjadi sorotan terkait persoalan yang sama seperti yang pernah terjadi sebelumnya, yakni kegagalannya dalam membekuk buronan aparat penegak hukum.
Pada awal tahun 2020 ini publik dihebohkan oleh kasus suap PAW anggota DPR yang dilakukan kader PDIP, Harun Masiku, yang juga bekas caleg PDIP tersangka suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Harun diduga memberi uang Rp 400 juta ke Wahyu agar diloloskan sebagai anggota dewan lewat mekanisme pergantian antar waktu (PAW) terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.Â
Dalam kasus tersebut, Harun Masiku hingga saat ini masih buron, dan tidak diketahui rimbanya. Yasonna pun saat itu mendapat kritikan pedas dari berbagai kalangan lantaran Yasonna dianggap memiliki banyak kepentingan, karena menduduki jabatan Menkumham sekaligus Ketua DPP PDIP.
Yasonna jadi sorotan karena bobolnya Imigrasi mendeteksi kedatangan buronan KPK Harun Masiku. Saat itu, Yasonna sempat ngotot, caleg PDIP yang jadi tersangka lantaran menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan itu, ada di luar negeri ketika KPK melakukan OTT pada 8 Januari lalu. Harun disebutnya sudah meninggalkan Tanah Air sejak 6 Januari, atau dua hari sebelum KPK melakukan operasi senyap itu.Â
Namun, fakta berkata lain. Harun terlihat dalam rekaman CCTV di Bandara Soekarno Hatta, 7 Januari lalu. Buntutnya, Yasonna mencopot Ronnie Sompie dari jabatan Dirjen Imigrasi. Dia juga menyalahkan sistem Imigrasi yang tidak berjalan semestinya.
Sedangkan sekarang ini, Yasonna dianggap gagal melakukan koordinasi dalam penangkapan buronan kasus Cessie, atau hak tagih Bank Bali, yakni taipan Djoko Tjandra.
Sebagaimana diketahui Djoko Tjandra, yang sudah buron sejak 2009, disebut-sebut datang ke Indonesia untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) kasusnya di PN Jaksel. Dia datang langsung ke pengadilan yang terletak di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, 8 Juni lalu.Â
Dalam kasus tersebut Yasonna mengaku tidak tahu soal kedatangan Djoko. Dia menyebut, tidak ada nama Djoko Tjandra dalam data perlintasan orang. Hasil itu didapatkan setelah dia mengecek data di pelabuhan dan bandara.Â
Untuk menelusuri jejak Direktur PT Era Giat Prima (EGP) itu, Kemenkumham menggandeng Kejaksaan Agung. Tapi, Yasonna menjelaskan, kalau pun benar Djoko masuk ke Indonesia, pihak Imigrasi tak bisa menghalanginya. Sebab Djoko tak lagi jadi buronan Interpol sejak 2014.
"Seandainya ya, kalau dia masuk sambil bersiul, bisa saja, karena dia tidak masuk red notice (pencekalan). Tapi, ini hebatnya dia, enggak ada," kilah Yasonna di depan awak media.Â
Bukan hanya kegagalannya dalam membekuk dua buronan itu saja, sebelumnya Yasonna pun dianggap kontroversial terkait  terkait revisi UU KPK dan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)
Yasonna bahkan diduga tidak melaporkan secara rutin dan terperinci hasil pembahasan undang-undang dengan DPR kepada presiden.
Belum selesai dengan revisi UU KPK, lalu UU MD3 beberapa tahun lalu, meski tidak ditandatangani presiden. Bahkan diduga Yasonna tidak melaporkan hasil pembahasan regulasi kepada presiden.
September tahun lalu, misalnya, ketika DPR dan pemerintah sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Peraturan ini dianggap memberi angin segar untuk narapidana korupsi karena mempermudah syarat remisi.
Yasonna juga kerap berseberangan dengan masyarakat sipil terkait revisi UU KPK. Masyarakat tak mau UU KPK diubah karena khawatir pemberantasan korupsi memble, sementara Yasonna sebaliknya.
Demikian pula kontroversi yang memancing protes warga Tanjung Priok, Jakarta Utara lantaran Yasonna bicara soal kemiskinan sebagai sumber tindakan kriminal. Ia lantas membandingkan antara Tanjung Priok dan Menteng. Baginya kriminal lebih mungkin hadir dari Tanjung Priok karena daerah tersebut lebih dekat dengan kemiskinan.
Saat itu Yasonna pun berkilah, bahwa apa yang dia katakan adalah pernyataan ilmiah. Meski demikian, dia tetap meminta maaf kepada pihak-pihak yang tersinggung.
Menyikapi kinerja Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang dianggap lemah, dan hanya pandai berkilah, bahkan hanya membuat kegaduhan, suara tuntutan agar Presiden Jokowi mencopot menterinya yang satu ini, terus bermunculan.
Apalagi ketika dalam sidang paripurna Kabinet yang rekamannya telah tersebar belakangan ini, Presiden Jokowi telah memberi sinyal akan me-reshuffle jajaran kabinetnya yang tidak bisa bekerja secara maksimal, dan tidak memiliki sense of crisis.
Sehingga bermunculan pula pertanyaan, apakah Yasonna  masuk radar Jokowi sebagai target yang juga akan diganti?
Itulah masalahnya. Bisa jadi menghadapi menteri yang satu ini Jokowi barangkali harus berpikir dua kali, apabila mantan Gubernur DKI Jakarta ini masih merasa ada beban politik terhadap parpol yang memiliki andil dalam menghantarkan dirinya menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia ini hingga periode kedua kalinya.
Kecuali jika Jokowi konsisten dengan yang pernah diucapkannya, bahwa pada periode kedua ini dirinya merasa tidak memiliki beban lagi, kenapa harus ditunda lagi. Bukankah faktanya sudah jelas, dan sudah bukan rahasia lagi kalau rakyat banyak pun mengetahuinya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H