Bukan hanya kegagalannya dalam membekuk dua buronan itu saja, sebelumnya Yasonna pun dianggap kontroversial terkait  terkait revisi UU KPK dan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)
Yasonna bahkan diduga tidak melaporkan secara rutin dan terperinci hasil pembahasan undang-undang dengan DPR kepada presiden.
Belum selesai dengan revisi UU KPK, lalu UU MD3 beberapa tahun lalu, meski tidak ditandatangani presiden. Bahkan diduga Yasonna tidak melaporkan hasil pembahasan regulasi kepada presiden.
September tahun lalu, misalnya, ketika DPR dan pemerintah sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Peraturan ini dianggap memberi angin segar untuk narapidana korupsi karena mempermudah syarat remisi.
Yasonna juga kerap berseberangan dengan masyarakat sipil terkait revisi UU KPK. Masyarakat tak mau UU KPK diubah karena khawatir pemberantasan korupsi memble, sementara Yasonna sebaliknya.
Demikian pula kontroversi yang memancing protes warga Tanjung Priok, Jakarta Utara lantaran Yasonna bicara soal kemiskinan sebagai sumber tindakan kriminal. Ia lantas membandingkan antara Tanjung Priok dan Menteng. Baginya kriminal lebih mungkin hadir dari Tanjung Priok karena daerah tersebut lebih dekat dengan kemiskinan.
Saat itu Yasonna pun berkilah, bahwa apa yang dia katakan adalah pernyataan ilmiah. Meski demikian, dia tetap meminta maaf kepada pihak-pihak yang tersinggung.
Menyikapi kinerja Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang dianggap lemah, dan hanya pandai berkilah, bahkan hanya membuat kegaduhan, suara tuntutan agar Presiden Jokowi mencopot menterinya yang satu ini, terus bermunculan.
Apalagi ketika dalam sidang paripurna Kabinet yang rekamannya telah tersebar belakangan ini, Presiden Jokowi telah memberi sinyal akan me-reshuffle jajaran kabinetnya yang tidak bisa bekerja secara maksimal, dan tidak memiliki sense of crisis.
Sehingga bermunculan pula pertanyaan, apakah Yasonna  masuk radar Jokowi sebagai target yang juga akan diganti?
Itulah masalahnya. Bisa jadi menghadapi menteri yang satu ini Jokowi barangkali harus berpikir dua kali, apabila mantan Gubernur DKI Jakarta ini masih merasa ada beban politik terhadap parpol yang memiliki andil dalam menghantarkan dirinya menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia ini hingga periode kedua kalinya.