Di dalam politik tak ada musuh dan teman yang abadi memang, yang ada hanya kepentingan untuk mendapat kuasa.Â
Memang sudah tidak dapat disangkal lagi fenomena yang terjadi dalam kancah politik di negeri ini. Yang semula menjadi rival, bahkan sampai menghalalkan segala cara untuk menjatuhkannya, tapi setelah berahir dengan kekalahan yang menyakitkan, tanpa merasa sungkan lagi langsung menerima uluran tangan rival yang tampil jadi pemenang.
Sebagaimana yang terjadi pada drama Pilpres 2019 lalu. Kubu Prabowo-Sandiaga yang sebelumnya disangka akan terus berada di seberang, sebagai Kurawa yang menelan kekalahan, ternyata mau berdamai juga pada ahirnya.Â
Satu kursi Menteri pyang cukup strategis pun dipersembahkan Jokowi kepada mantan seterunya, yaitu menjadi Boss di Kementerian Pertahanan. Bahkan ada satu bonus kursi lagi untuk salah satu orang dekat Ketua Umum Partai Gerindra itu, yakni Edhy Prabowo yang ditabalkan jokowi untuk mengganti posisi Susi Pudjiastuti di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Begitulah. Sekalipun dalam persaingan memperebutkan kursi RI-1 Prabowo dipecundangi Jokowi, tokh setelah diraih tangannya dari kubangan kekalahan yang menyakitkan, mantan menantu penguasa rezim Orde Baru itupun mau bersekutu dengan mantan seterunya.Â
Tak tanggung-tanggung, argumentasi yang dinyatakan mantan Danjen Kopasus itupun sangat menyentuh hati bangsa ini: Demi keutuhan persatuan dan kesatuan NKRI.
Drama pun berahir sudah dengan happy ending. Prabowo mendapat aplaus yang membahana sebagai salah seorang nasionalis plus negarawan. Sebagai mantan prajurit TNI yang memang sudah teruji melalui Sumpah Prajurit dan Sapta Marga yang tertanam dalam dadanya, bisa jadi bagi seorang Prabowo Subianto kepentingan Bangsa dan Negara adalah hal yang paling utama.
Sehingga walapun beliau berulang kali dipecundangi dalam kontestansi menuju penguasa NKRI, Prabowo tidaklah mem endam dendam, dan tidak memiliki mental yang julidan.Â
Apa lagi sampai berniat memporak-porandakan keutuhan negeri tercinta yang memang harus ditebus oleh harta dan jiwa yang begitu banyak saat mendapatkan kemerdekaannya.
Akan tetapi lain halnya dengan satu sosok ini. Di masa Orde Baru dia pertama kali tampil sebagai salah seorang penentang rezim Orde Baru. Lalu ketika gerakan mahasiswa dari berbagai kampus tampil berunjuk rasa menentang kekuasaan Suharto yang mencengkeram negara ini selama 32 tahun, sosok ini pun ikut tampil pula. Bahkan didaulat sebagai salah seorang tokoh gerakan Reformasi kala itu.Â
Hanya saja dalam perjalanan politiknya kemudian, meskipun telah mendapat kedudukan yang lumayan, ternyata watak culas dan liciknya semakin tampak kelihatan.Â