Tiba-tiba seorang lelaki tua yang duduk di samping sayadalam angkot yang membawa kami menuju pusat kota, bergumam seraya melipat koranyang sejak tadi dibacanya, "Mijn heer Koning,spijt en excuses zijn niet genoeg voor ons."Â
Saya terkejut dibuatnya mendengar gumam serupa keluhan dalambahasa Belanda itu. Terus terang, saya sedikit mengerti dengan yangdiucapkannya tadi. Hanya saja ditujukan kepada siapa dia berkata demikian.Â
Ya, kalau tidak keliru terjemahan kalimat yang diucapkannyaitu kurang lebih adalah "Tuanku Raja, penyesalan dan permintaan maaf belumlahcukup bagi kami."
Untuk menuntaskan rasa penasaran, saya pun kemudian berusahabertanya dengan sikap seramah mungkin, disertai rasa takzim, "Maaf, Pak. TuankuRaja yang mana yang dimaksud oleh Bapak tadi?"
"Oh, adik mengerti bahasa Belanda?" sahutnya sembari tertawamemperlihatkan gigi depannya yang hanya tersisa dua.
"Sedikit, Pak," sahut saya.
"Tadi di koran yang saya baca ini (sambil mengacungkan koran yang sudah dilipatnya) ada berita kunjungan Raja Belanda, Willem-Alexander, dan dalam sambutan kenegaraannya dia menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan bangsanya terhadap bangsa Indonesia di masa lalu," jelasnya.
"Een vergoeding voor bezetting gedurende drie en een halveeeuw in de vorm van rijkdom en miljoenen levens moeten een passende vergoedingkrijgen," lanjutnya.
"Terlebih lagi dengan kekejaman kapten Westerling di Bandungdan  Makassar yang telah membantai ribuan orang tak berdosa, bagi kamisungguh-sungguh membuat luka yang sulit disembuhkan sampai sekarang,"sambungnya lagi.
Tapi ketika akan kembali berkata, anak muda yang ada disebelahnya, meminta sopir untuk menghentikan angkot yang kami tumpangi.
Ternyata bukan hanya lelaki muda saja yang turun, lelaki tuaitu pun ikut turun juga. Dan sebelumnya dia pun berpamitan pada saya.Â
Sayaperhatikan saat kedua orang itu melangkahkan kakinya, dan angkot yang sayatumpangi kembali melaju, lelaki tua itu berjalan tertatih sambil dipapah lelaki muda di sebelahnya. Saya kira mereka berdua adalah kakek bersamacucunya.Â
Saya terus memperhatikan dua orang itu sebelum ditelan pintu gerbang kantor Lembaga Veteran Pejuang Republik Indonesia (LVRI). Lalu tanpa sadar, saya menghela nafas panjang. Sementara dalam hati saya memaklumi kegeraman orang tua tadi. Meskipun saya tidak mengenalnya sama sekali, dan baru bertemu selintas saja sekarang ini, namun membayangkan perjuangan para patriot kemerdekaan untuk merebut kemerdekaan di masa lalu, sepertinya sulit untuk berkompromi dengan kenangan pahit yang ia alami.Â
Paling tidak sisa-sisa penjajahan selama 300 tahun lebih itu masih jelas nampak dan masih begitu melekat pada bangsa Indonesia ini. Mental feodal, dan budaya korup misalnya, dan meskipun sudah melewati beberapa perubahan, mulai dari jaman yang disebut orde lama, orde baru, hingga jamannya reformasi sekarang ini, budaya warisan penjajah itu sulit sekali dienyahkan. Bahkan sepertinya malah kian menjadi-jadi saja.Â
Sikap para elit dan kepala daerah yang merasa diri sebagai raja-raja kecil, masih banyak terdengar. Â Bagaimana seorang kepala daerah, atawa seorang kepala dinas yang masih bersikap arogan, sok merasa diri sedang memiliki kekuasaan, bertindak sewenang-wenang dan ingin dihormati secara berlebihan. Demikian budaya budaya korup hampir di setiap lembaga pemerintahan, dari tingkat pusat sampai pelosok desa, selalu saja ditemukan, dan sepertinya semakin masif saja dilakukan.
Hanya saja jika menyoal kegeraman lelaki tua yang ditemui siang tadi, sepertinya tidaklah elok jika memendam dendam tiada henti. Bagaimanapun menurut ajaran agama manapun tidak diperbolehkan untuk mendendam terhadap musuh yang telah membuat kita menderita. Sebaliknya dengan memaafkan segala kesalahannya merupakan sikap yang bijak dan ksatria. Bukankah Tuhan yang mahakuasa pun mengetahui juga akan segalanya.
Biarlah semua berjalan sesuai fitahnya. Dan paling tidak segala benda-benda warisan nenek moyang kita yang mereka simpan di negerinya segera dikembalikan, karena bagaimana pun anak-cucu kita akan tahu nenek moyangnya pernah berjaya di negerinya, dan pernah juga mengalami penderitaan  akibat kolonialisme selama berabad lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H