Saya tidak tahu pasti, dalam usia yang sudah menginjak 61 sekarang ini, apakah saya sudah berada di jalur yang lurus, atawa masih sering menikung terbawa arus?
Pertanyaan seperti itu selalu saja muncul tiba-tiba, manakala sedang duduk tepekur di mushola. Seraya menadahkan kedua telapak tangan dalam harap dan cemas memohon ampunanNya.
Sedangkan bila telah berada kembali di rumah, saya selalu saja disergap resah dan gelisah. Begitu banyak  masalah yang minta untuk dibelah dan dicacah. Padahal tubuh dan jiwa ini sudah terbungkuk lemah.Â
Di usia yang kini tak muda lagi, saya merasa berada di dalam dua  ruang dan waktu yang berbeda sama sekali.Â
Dalam ruang yang pertama, terasa atmosfirnya penuh dengan nuansa warna putih belaka. Demikian juga suara yang terdengar hanyalah berputar dalam nada penuh harap mendapat ampunan dan petunjuk yang mahakuasa. Lain tidak.
Sementara di ruang yang satunya lagi, begitu kontradiksi dengan ruang yang pertama tadi. Di ruangan ini saya merasakan dentuman drum yang membahana, dan terkadang membuat saya lupa pada segalanya. Terlebih lagi bila sudah ditingkah raungan gitar dalam nada yang tinggi, terasa jiwa ini melayang dalam pelukan tujuh bidadari. Belum lagi hidung ini disuguhi aroma yang  merangsang libido yang dimiliki setiap lelaki, membuat diri ini larut dalam keadaan tak sadarkan diri lagi.
Sungguh. Pertanyaan "Mengapa saya harus begini?" menyusul kemudian dalam ketidakmengertian.
Dan benarkah rumput tetangga selalu tampak lebih lebih hijau di mata setiap orang - lelaki maupun perempuan, tua maupun muda? Tetapi saya tak hendak membanding-bandingkan. Hal itu memang saya akui, merupakan pengalaman diri saya sendiri.
Terlepas usia ini sudah merangkak renta, dan rabun mata kian memaksa saja, akan tetapi gairah itu muncul secara tiba-tiba, dan selalu saja sulit untuk diajak kompromi. Â Bahkan selalu saja ada bisikan gaib yang menyebut bahwa gelora cinta janganlah dipadamkan dan dicampakkan begitu saja, namun sebaliknya harus tetap menyala sampai berkobar dalam jiwa senantiasa.
Selalu saja dialami hampir saban hari. Emosi yang tak terkendali membuat saya semakin larut dalam gairah hidup. Sementara ketika mengingat kematian, hanya datang di saat menunaikan salat, dan ketika datang melayat seseorang yang sudah terbujur menjadi mayat.
Padahal bukankah hidup di dunia ini hanyalah sementara saja. Semua manusia suatu saat nanti sudah pasti akan mengalami kematian tanpa bisa ditawar lagi.