Publik dikejutkan dengan ditampilkannya para tersangka insiden susur sungai yang menewaskan sepuluh siswi SMPN I Turi, Sleman pada Jumat (21/2/2020) lalu, dalam kondisi kepala gundul karena dibotaki layaknya pencuri ayam, atawa penjahat kelas kakap yang melakukan tindak pidana perampokan.
Padahal ketiga tersangka yang diduga lalai di dalam menjalankan tugasnya, yaitu Yoppy Andrian, merupakan guru olahraga, Riyanto adalah guru seni budaya di SMPN I Turi Sleman tersebut. Keduanya pun adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan Danang merupakan pembina Pramuka dari kuar sekolah. Dan berstatus pekerja swasta yang memiliki sertifikat kursus mahir dasar (KMD).
Keheranan publik merupakan sesuatu hal yang wajar dalam kasus tersebut. Perlakuan pihak aparat kepolisian terhadap para tersangka dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat berlebihan.
Bahkan ada anggapan pihak kepolisian, dalam hal ini Satuan Reserse dan kriminal Polres Sleman, telah bertindak diskriminatif dalam menangani perkara tersebut. Betapa tidak, ketika menangani para pelaku tindak pidana korupsi, pihak aparat penegak hukum justru sebaliknya dalam memperlakukannya.Â
Selama ini para tersangka tindak pidana korupsi selalu saja diperlakukan begitu istimewa. Walaupun mendapat pengawalan yang ketat, dengan senjata laras panjang di tangan para parat, namun sama sekali belum pernah seorangpun dari para koruptor itu sampai digunduli kepalanya. Padahal konon perbuatan korupsi merupakan extra ordinary crime, atawa kejahatan yang luar biasa. Disebut demikian, lantaran perbuatan korupsi telah merugikan bangsa dan negara.
Maka apabila para guru dan pembina Pramuka yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam insiden susur sungai itu diperlakukan secara jauh berbeda dengan para pelaku tindak pidana korupsi, suatu hal yang wajar jika publik, seperti misalnya Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), dan Federasi Guru Indonesia (FGI) merasa geram, dan melakukan protes atas tindakan aparat kepolisian terhadap rekan satu profesi mereka.
Tidak hanya organisasi profesi guru saja yang geram terhadap hal itu. Masyarakat banyak, atawa publik sekalipun tidak jauh berbeda. Tindakan aparat kepolisian dalam menangani kasus tersebut, dianggap sudah tak memiliki hati-nurani lagi. Padahal mereka pun bisa menjadi sebagai seorang aparat penegak hukum sekarang ini, sebelumnya diajari berbagai pelajaran di sekolah oleh para guru.Â
Atawa jangan-jangan para aparat polisi yang menangani insiden susur sungai ini memiliki rasa dendam terhadap para guru. Misalnya saja karena sewaktu dulu para aparat polisi itu bersekolah, karena nakal pernah dihukum gurunya. Mungkin juga karena bodoh dalam beberapa mata pelajaran, maka di rapornya pun mendapat nilai dengan tinta merah.
Sehingga di saat ada guru yang bermasalah dengan hukum, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, dendam kesumat masa lalu pun dilampiaskannya saat ini manakala yang bersangkutan telah memiliki kekuasaan, Terlepas  yang melakukan kesalahan itu bukan guru pada saat sekolah dulu.
Akan tetapi dalam masalah ini kita tidak perlu berandai-andai seperti itu. Â Dan yang jelas, apabila seseorang dijadikan sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana, asas praduga tidak bersalah pun masih tetap harus diutamakan. Namanya juga masih menjadi pihak yang disangka. Sedangkan yang namanya sangkaan, atawa dugaan, mengandung arti belum ada kepastian benar atawa tidaknya mereka telah berbuat kesalahan yang melawan hukum. Baru jika tersangka itu berada di pengadilan ketetapan hukum salah dan tidaknya ada kepastian melalui vonis hakim yang mengadilinya.
Oleh karena itu tindakan aparat kepolisian yang bertindak semena-mena itu pun sepertinya bisa dikategorikan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi  manusia (HAM).