Ketika dalam aksi 212 pada Jumat (21/2/2020), di Monas,Jakarta Pusat,seorang pesertanya bernama Abdullah Maher berorasi dengan berapi-api berseru untuk menjatuhkan Presiden Jokowi dari jabatannya. Karena dia menganggap Jokowi sebagai sumber malapetaka dari terjadinya korupsi di negeri ini.
"Hanya satu, solusinya adalah revolusi, jatuhkan Jokowi karena sumber malapetaka. Allahu Akbar," serunya diikuti takbir oleh massa.
Akan tetapi  kemudian ketua PA 212, Slamet Maarif mengklarifikasi bahwa ajakan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi yang disuarakan Maher merupakan pendapat pribadi yang bersangkutan. Bukan tanggung jawab penyelenggara aksi 212.
Lalu kita pun bertanya-tanya, kalau memang merupakan pendapat pribadi, dan bukan agenda aksi 212, kenapa tidak ada teguran di saat berorasi, atawa sebelumnya pun ada pemberitahuan, dan pengarahan dari penyelenggara, yang notabene sebagai penanggung jawab aksi tersebut. Bahkan ajakan sang orator pun malah diamini oleh massa aksi.
Oleh karena itu penjelasan Slamet Maarif sepertinya sulit  dipercaya, malahan terkesan basa-basi belaka. Dengan kata lain, ketua PA 212 seolah cuci-tangan, tidak bertanggung jawab dengan munculnya ajakan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi yang dapat dikategorikan sebagai seruan untuk melakukan tindakan makar.
Pernyataan Slamet Maarif seperti itu, mengingkari tanggungjawab dari agenda aksi yang diselenggarakannya, selain dianggap sebagai upaya membolak-balik fakta, juga dapat dikatakan sebagai sikap pengecut seorang pimpinan terhadap tindakan yang telah dilakukan oleh anak buahnya.
Sikap Samet Maarif itu sepertinya tidak jauh berbeda dengan ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto yang mengklarifikasi pernyataan komisioner KPAI Sitti Hikmawatty.
Sebelumnya, di hari yang sama dengan aksi 212,  Sitti Hikmawatty menyatakan bahwa seorang perempuan bisa hamil saat berenang di kolam yang berisi pria dan si pria mengalami ejakulasi.
Susanto pun mengklarifikasi kalau pernyataan Hikmawatty yang telah menimbulkan kontroversi itu merupakan pendapat pribadi, dan bukan tanggungjawab KPAI.
Tak Pernah Ada Prajurit yang Salah
Dalam dunia militer, di masa lalu sering terdengar jargon yang berbunyi: Tak pernah ada prajurit yang salah. Dengan kata lain, setiap kesalahan yang diperbuat oleh anak buahnya, atawa prajuritnya, menjadi tanggungjawab komandannya. Pimpinannya.
Demikian juga dewasa ini seperti yang terjadi di negara Jepang, atawa di negara lainnya yang masih menjunjung tinggi etika  dan budaya pertanggungjawaban seorang pemimpin, jargon di atas masih tetap berlaku.
Seperti misalnya saat terjadi musibah kecelakaan pesawat terbang yang memakan banyak korban jiwa penumpangnya, maka seorang Menteri perhubungan pun langsung mengundurkan diri dari jabatannya. Bahkan tak jarang ada seorang pimpinan yang sampai melakukan harakiri, yakni bunuh diri sebagai bentuk pertanggung jawaban dari kesalahan yang telah dilakukannya dalam memimpin lembaga terkait.
Sedangkan di negeri kita ini, di indonesia tercinta, jangankan sampai ada yang berani melakukan bunuh diri bila ada kesalahan yang dilakukan dirinya maupun oleh bawahannya, mengundurkan diri dari jabatannya pun tak pernah terdengar sama sekali.
Sebaliknya malah bersikap cuci tangan. Lepas tanggung jawab.Lalu menudingkan telunjuknya kepada bawahan yang telah membuat kesalahan itu.dan harus dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan sendiri.
Sebagaimana dalam kasus suap komisioner KPU. Menteri Hukumdan HAM Yasonna Laoly malah langsung memecat Dirjen Imigrasi, Ronnie Sompi, dan sebaliknya politikus PDIP itu membentuk tim investigasi yang kemudian menyatakan Yasonna Laoly tidak bersalah sama sekali di dalam kasus tersebut.
Begitu juga dengan ketua KPAI sekarang ini. Sama halnya denganketua PA 212. Seolah-olah tak pernah ada komandan yang salah. Atawa jangan-jangan martabat seorang pimpinan di negeri ini peringkatnya sudah setingkat malaikat? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H