Gara-gara Bang Toyib yang tak pulang hingga tiga kali lebaran, membikin para anggota dewan yang membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahan Keluarga, tersentuh hatinya sampai klepek-klepek untuk buru-buru mengejar target prioritas prolegnas di tahun 2020 ini.
Sungguh. Di satu sisi kita patut mengacungkan jempol kepada para anggota DPR di Senayan, Jakarta, yang telah memberi apresiasi yang begitu tinggi terhadap seni musik dangdut yang diklaim sebagai jenis musik yang telah memperkaya khazanah seni dan budaya negeri6 kita. Wa bil khusus terhadap lagu dangdut yang diciptakan oleh Sandy Sulung dan Bi'ing, serta dipopulerkan penyanyi Ade Irma ini.
Paling tidak para anggota Dewan yang terhormat ini, di samping memiliki apresiasi, kita pun menduga kalau mereka, para anggota DPR di Senayan, tentu saja, Â pun gemar pula bersenandung-ria sambil berjoget ala Inul Daratista, atawa berkaraokean bersama-sama, entah di saat reses, atawa juga entah di tengah sidang paripurna.
Hanya saja yang jelas, dalam draf yang beredar, RUU itu mengatur sejumlah hal. Mulai dari peran suami istri, kewajiban suami istri, penyimpangan seksual, bahkan hingga soal donor sperma. Sementara yang dianggap kontroversial, adalah peran perempuan pada Pasal 25 ayat (3).
Dalam aturan itu ditulis istri hanya punya tiga tugas yang berkaitan dengan urusan domestik keluarga di antaranya:
a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
b. menjaga keutuhan keluarga; serta
c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
Adapun draf aturan ini diajukan oleh lima politikus, yaitu Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, serta Ali Taher Parasong dari Fraksi PAN.
Sementara alasan Ali Taher Parasong merumuskan RUU tersebut, menyebut kisah Bang Toyib yang populer lewat lagu dangdut sebagai salah satu contoh kondisi kehidupan perkawinan di Indonesia yang perlu mendapat perhatian.
oleh karena itu, kita pun hanya bisa menduga-duga, jika para anggota dewan yang terhormat itu di dalam merumuskan suatu aturan yang menyangkut hidup seluruh rakyat Indonesia cukup dengan hanya berdasarkan sebuah lagu dangdut saja.
Bukan berdasarkan hasil sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, atawa paling tidak dari hasil survey suatu lembaga di bidang tersebut yang diakui keabsahannya oleh pemerintah.
Jika naga-naganya seperti itu, kitapun hanya bisa tepuk jidat saja menyaksikannya. Lantaran cuma karena lirik lagu dangdut saja, anggota dewan yang terhormat telah memiliki keyakinan jika kondisi perkawinan di Indonesia seperti itu adanya. Padahal yang namanya sebuah lagu, tidak menutup kemungkinan jika sekedar berdasar imajinasi penulisnya, dengan maksud mendramatisir suatu peristiwa supaya tepat pas dengan irama musik, dan lenggang-lenggok penyanyinya.