Menyimak pernyataan Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Saefullah yang meminta semua pihak agar tidak menyalahkan Gubernur DKI Jakarta, Anies R. Baswedan, terkait kisruh surat yang dikirimkan atasannya itu kepada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno, mengundang pertanyaan, sekaligus rasa iba yang tiada tara.
Apakah yang dimaksud Saefullah, "Kasihan Pak Gubernur ,capek," yang diungkapkannya di Balai kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jum'at (14/2/2020) tersebut sebagai bentuk ketulusan rasa simpati seorang anak buah terhadap atasannya, atawa sebaliknya justru memiliki maksud politis. Paling tidak sebagai sindiran yang melecehkan atasannya tersebut karena seringkali melakukan blunder dalam melakukan pekerjaannya?
Sebab, jika kita menelaah kata "Kasihan" yang kata dasarnya adalah "Kasih", berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki dua makna, sebagai berikut: 1. "Kasih" berarti beri; memberi. 2. "Kasih" artinya perasaan sayang (cinta, suka kepada). Dan "Kasihan" artinya adalah rasa iba hati, rasa belas kasih, dan seruan menyatakan rasa belas. Sedangkan kata "belas" artinya adalah perasaan iba atau sedih melihat penderitaan orang lain.
Walhasil dalam hal ini, Anies Baswedan dianggap oleh Saefullah tengah menderita. Entah merasa gundah-gulana, entah karena tersiksa akibat surat yang dikirim kepada Mensesneg, Pratikno, ternyata ada kekeliruan sehingga menimbulkan kritik, bahkan cemoohan dari publik.
Akan tetapi sepertinya kata "Kasihan" yang diungkapkan Saefullah terhadap Anies Baswedan, yang notabene dari bawahan kepada atasan, sepertinya tidaklah layak dan tepat, jika maksudnya sebagai bentuk rasa simpati. Sebab kata"Kasihan" biasanya diungkapkan terhadap para pengemis yang tunadaksa, atawa tunawisma yang kelaparan, dan mereka yang tempat tinggalnya digusur Satpol PP misalnya, atawa juga seorang bocah yang sudah yatim-piatu, alias sudah ditinggal mati kedua orang tuanya.
Sehingga kedengarannya kurang elok, dan begitu naif jika seorang sekelas Anies sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta, masih harus dikasihani. Oleh anak buahnya lagi. Sebab di samping mendapat gaji dan tunjangan paling besar, seorang Anies pun memiliki kekuasaan paling tinggi di Balai Kota DKI Jakarta.
Apalagi yang kurang dari orang yang paling berkuasa? Sepertinya seorang pemimpin harus sudah siap lahir-batin, dalam bekerja demi kesejahteraan warganya -- tentu saja. Tak terkecuali apabila melakukan kesalahan ketika bekerja, langsung mendapat kritikan, atawa teguran dari siapa pun juga. Tak terkecuali dari warganya sendiri. Karena negeri ini tokh menganut sistem demokrasi. Apalagi seorang Gubernur, selain memiliki bawahan di segala bidang, ia pun memiliki banyak penasihat resmi yang disebut stap ahli, bahkan tidak menutup kemungkinan pula punya juga penasihat spiritual.
Oleh karena itu, jangan-jangan anak buah Anies Baswedan ini sedang mentertawakan atasannya dengan caranya sendiri. Mungkin saja lantaran Saefullah sendiri seringkali ikut merasa risih, dan malu akibat ulah atasannya itu yang seringkali juga dianggap blunder dalam melaksanakan tugasnya.
Tentunya masih melekat di dalam ingatan, bagaimana riuh-rendahnya publik ketika dalam rancangan anggaran ditemukan sejumlah poin yang tak masuk akal. Mulai dari lem aibon, hingga alat tulis yang nilainya mencengangkan.
Demikian juga kala menyambut tahun baru, kota Jakarta dan sekitarnya dilanda hujan lebat,  sehingga menimbulkan banjir yang menimbulkan bencana.Â
Saat itu Anies dianggap sebagian besar masyarakat bukannya segera tanggap untuk mengatasi bencana, tapi sebaliknya justru malah berpolemik dengan sejuta macam alasannya.